Efisiensi Penggunaan Air Irigasi Pada Tanaman Padi Sawah Menggunakan Pengairan Intermitten

amaqseruni*

DSCF8772sasaQgagah – Diperkirakan di bumi ini terdapat 1,3 – 1,4 milyar km3 air; 97,5% berasal dari laut, 1,75% berbentuk es (salju) di kutub dan puncak gunung, 0,73% di daratan sebagai sungai, air tanah, rawa dan lain sebagainya, dan 0,001 berbentuk uap air yang terapung di udara (Jumin, 2005).

Oleh karena sirkulasi air di bumi tidak merata karena terpengaruh oleh fotografi dan latitude, ketersediaan air di berbagai wilayah juga berbeda – beda. Pada wilayah yang air nya kurang dari kebutuhan (defisit), maka untuk mencukupi kebutuhan air dilakukan upaya irigasi sebagai penerapan dari sirkulasi air (hidrologi). Irigasi adalah usaha untuk memperoleh air yang menggunakan bangunan dan saluran buatan untuk keperluan penunjang produksi pertanian (E. Mawardi, 2007).

Air memegang peranan penting dalam proses kehidupan tanaman. Kekurangan air akan mengganggu aktifitas fisiologis maupun morfologis, sehingga mengakibatkan terhentinya pertumbuhan (Jumin, 2005). Kebutuhan air bagi tanaman padi sawah ditentukan oleh faktor – faktor cara penyiapan lahan, kebutuhan air untuk tanaman, perkolasi dan rembesan, pergantian lapisan air, dan curah hujan efektif . Salah satu sifat yang dimiliki tanaman padi sawah yakni dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang tergenang (Hardjowigeno dan Rayes, 2005). Cara pemberian air pada tanaman padi umumnya dilakukan secara konvensional. Pada cara konvensional ini tanaman diberi air sejak umur 1 HST sampai masa primordial (generatif) setinggi 7 cm – 10 cm.

Cara konvensional membutuhkan ketersediaan air irigasi yang tinggi, berdasarkan literatur yang ada angka kebutuhan air pada musim kemarau (MT2/MK1) yaitu; (1) fase pengolahan tanah dan persemaian selama 30 hari dengan kebutuhan air 1,70 liter/detik per hektar, (2) fase pertumbuhan vegetatif, selama 40 hari dengan kebutuhan 0,90 liter/detik per hektar, (3) fase pertumbuhan generatif, selama 40 hari dengan kebutuhan air 1,44 liter/detik per hektar.

Sedangkan E. Mawardi (2007) menyebutkan angka kebutuhan air sebagai berikut : (1) pengolahan tanah dan persemaian, selama 1 – 1,5 bulan dengan kebutuhan air 10 – 14 mm / hari, (2) pertumbunan pertama (vegetatif), selama 1 – 2 bulan dengan kebutuhan air 4 – 6 mm / hari, (3) pertumbuhan kedua (vegetatif), selama 1 – 1,5 bulan dengan kebutuhan air 6 – 8 mm / hari, dan (4) pemasakan selama lebih kurang 1 – 1,5 bulan dengan kebutuhan air 5 – 7 mm / hari.
Pada daerah – daerah yang memiliki curah hujan rendah dan jumlah air yang tersedia di sumber rendah maka cara konvensional ini akan menimbulkan masalah pada rendahnya provitas tanaman padi sawah. Sebagai contoh Kabupaten Lombok Tengah yang mengalami defisit air irigasi pada MT- 2/MK-1 tahun 2015 ini hanya dapat merekomendasikan rencana luas tanam 17.380 hektar dari jumlah luas lahan yang tersedia 49.517 hektar (Perbup RTTG 2015/2016). Sangat jauh di bawah target nasional dengan rencana luas tanam 30.500 hektar.

Permintaan kebutuhan air semangkit meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, pada wilayah tertentu mengalami surplus air sedangkan ditempat lainnya mengalami defisit ketersediaan air terutama air untuk kebutuhan irigasi. Oleh karena itu penggunaan air irigasi harus diatur agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Air bagi tanaman berfungsi untuk (Jumin, 2005) : (a) bagian dari protoplasma, biasanya air membentuk 85% sampai 90% dari berat keseluruhan bagian hijau tanaman (jaringan yang sedang tumbuh), (b) reagen yang penting dalam proses fotosintesa dan dalam proses hidrolitik seperti perubahan pati menjadi gula, (c) pelarut garam, gas, dan berbagai mineral yang bergerak ke dalam tanaman, melalui dinding sel dan jaringan xylem serta menjamin kesinambungannya, (d) sesuatu yang esensial untuk menjamin adanya turgiditas pertumbuhan sel, stabilitas bentuk daun, proses membuka dan menutupnya mulut daun, kelangsungan gerak struktur tanaman.
Para ahli budidaya dan ahli irigasi beranggapan bahwa pemberian air bagi tanaman dengan cara konvensional sudah dianggap tidak efektif, karena sesungguhnya yang dibutuhkan tanaman adalah lengas tanah yang dipertahankan. Pemberian air irigasi dalam rangka upaya hemat air diartikan sebagai pengendalian lengas tanah (control of moisture). Pemberian air yang berlebihan justru akan menimbulkan water logging, salinasi dan sebagainya (E. Mawardi, 2007).

Praktek hemat air atau biasanya disebut irigasi terputus “Intermitten Irrigations”, sudah diperkenalkan kepada petani di provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Decentralized Irrigations System Improvement Project in Eastern Region of Indonesia (DISIMP) Phase 1 Tahun 2004 – 2007 dan DISIMP Phase 2 Tahun 2011 – 2015 didanai oleh JBIC dan dikerjakan oleh Ditjen Sumber Daya Air Dept PU pada tahun 2004, Nusa Tenggara Barat Water Resaurcess Management Program (NTB – WRMP)  didanai oleh Hibah Uni Eropa tahun 2006 – 2010, dan Water Resaurcess Irrigations Sector Management Program (WISMP) Phase 2 Tahun 2012 – 2017 didanai oleh Dana Loan yang bersumber dari Bank Dunia. Ketiga program tersebut mengembangkan pemberian air irigasi secara intermitten dengan mencoba pola padi System of Rice Intensifications (SRI).

Hasil penelitian DISIMP, kebutuhan air untuk padi pola SRI sampai umur 57 hari adalah 2.083 m3/hektar sehingga kebutuhan padi pola SRI dalam satu musim tanam 6000 m3/hektar/musim, sedangkan kebutuhan air pada pola konvensional sebesar 10.000 m3/hektar/musim. Kebutuhan air untuk padi pola SRI lebih hemat 40 persen. Percobaan yang dilakukan di Daerah Irigasi Jurang Batu Kecamatan Praya Tengah Kabupaten Lombok Tengah, sistem pemberian air dimana petak sawah mendapatkan air sebanyak 5 hari sebulan, sehingga periode keringnya 25 hari dalam sebulan. Percobaan yang di lakukan di Batu Bulan Kabupaten Sumbawa, petak sawah mendapatkan air sebanyak 10 hari dalam sebulan sehingga periode keringnya selama 20 hari. Dan percobaan DISIMP 2 di Jurang Sate petak sawah mendapatkan air selama 4 hari dalam sebulan sehingga periode keringnya 26 hari.

Bagi petani di NTB pola budidaya padi System of Rice Intensifications (SRI) sudah banyak dikenal oleh petani, dan pola SRI awalnya berkembang di Jawa Barat. Pola budidaya SRI diadopsi dari Madagaskar dan telah dianggap sesuai dengan kultur masyarakat petani di indoensia. Pola SRI mengembangkan prinsip – prinsip pengairan intermitten yang membedakannya dengan cara budidaya pola konvensional.

Penerapan pemberian air dengan cara intermitten sangat cocok untuk dikembangkan di NTB Khususnya Kabupaten Lombok Tengah yang memiliki luas areal sawah irigasi tersebesar di NTB namun mengalami defisit air irigasi setiap tahunnya. Pola pengairan intermitten akan membantu Kelembagaan Pengelola Irigadsi (KPI) dalam mencapai target nasional dan provitas 7 – 8 ton GKP per hektar. Sampai saat ini diseminasi SRI dan pola pengairan intermitten masih lamban, dari laporan DISIMP 2 (2014) baru mencapai 1600 hektar.

Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GPPTT) yang sekarang ini lagi dikembangkan oleh Dinas Pertanian dan Peternakan, sebenarnya dapat dijadikan media strategis pengembangan pola pengairan intermitten jika arah dan kebijakan nasional untuk meningkatkan swasembada pangan melalui perluasan realisasi tanam dan provitas tanaman padi sawah menuju pencapaian produksi 15 juta ton GKP.

Daftar Pustaka :
1. Erman Mawardi, DRS, Dipl, AIT, Prof. 2007. Desain Hidraulik Bangunan Irigasi, Alfabeta, Bandung
2. Hasan Basri Jumin, MSc, Dr, Prof. 2005. Dasar Dasar Agronomi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, Indonesia.
3. Sarwono Hardjowigeno, Ir. MSc, Dr, Prof dan Luthfi Rayes, Ir, MSc, Dr. Tanah Sawah : Karakteristik, Kondisi, dan Permasalahan Tanah Sawah di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, Indonesia.
4. DISIMP Phase 2. 2014. Laporan Akhir Agronomist Daerah Irigasi Jurang Sate, BWS Nusa Tenggara I.

Tinggalkan komentar