Sejarah Irigasi Nusantara
sasaQgagah – Nusantara adalah negeri yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan ragam budaya yang tiada tandingannya di dunia, sejak perkembangan peradaban nusantara dari masa bercocok tanam dan akhir masa perunggu kegiatan pertanian menjadi tulang punggung suku – suku yang mendiami bumi Nusantara ini. Sejak Animisme, Syiwa Hindu, Shiwa-Budha, dan Islam dijadikan pondasi dasar kepercayaan masyarakat Nusantara kepada Tuhan YME yang telah mengajarkan konsep tentang bagimana manusia menghadapi tantangan lingkungannya baik fisik maupun sosial agar dapat bertahan. Wujudnya tidak lain adalah nilai-nilai.keselarasan dengan alam, termasuk dalam kegiatan pertanian. Dalam perkembangannya pengelolaan sumber daya air memegang peranan penting dalam kegiatan bercocok tanam masyarakat baik sejak zaman raja – raja nusantara sampai NKRI sekarang.
Pembangunan irigasi sudah berkembang sejak zaman Kutai Martadipura ( 350 – 1605 M ) yang mengalirkan air dari anak – anak sungai Mahakam untuk kegiatan pertanian dan peternakan. Pada masa Tarumanegara ( 358 – 669 M ) irigasai juga telah menjadi pertanian utama dengan menggali sungai Gomati dan candrabaga sepanjang 6112 tombak atau 11 Km, Raja Mataram Kuno Rakai Pikatan ( 850 M ) membelokkan aliran Kali Opak mendekati Candi Prambanan yang dianggap sebagai proyek besar pada masa itu. Mpu Sindok ( 929 – 948 M ) membangun bendungan dan membagikan tanah – tanah pertanian untuk masyarakat. Hayam Wuruk ( 1350 – 1389 M ) membangun Embung yang besar di Trowulan yang dipergunakan untuk mengairi sawah – sawah. Wangsa Warmadewa yang memerintah Bali Kuno ( 882 – 914 M ) juga telah membangun sistem irigasi yang menjadi pondasi dasar sistem Subak, dan penyempurnaan tata kelola subak oleh Raja Anak Wungsu Waturenggong ( 1049 – 1077 M ) dari kerajaan Gelgel Bali.
Lombok Mirah Sasak Adi, demikian nama yang diberikan oleh Mpu Tantular dalam Kitab Negara Kertha Ghama kepada pulau Lombok. Dalam babab Lombok yang menceritakan perkembangan raja – raja di Lombok tidak ada satupun tulisan yang menjelaskan tentang sistem irigasi masyarakat adat Sasak. Sistem pengairan yang berkembang di masyarakat agraris Sasak sekarang ini adalah sistem Subak Bali. Sistem Subak Bali diperkenalkan pertama kali oleh Gelgel, Klungkung, Karang Asem, Mataram dan Shingasari (Cakranegara) yang menguasai pulau Lombok dari 1600 – 1950 M.
Masa pemerintahan kolonial Belanda, Lombok semakin mendapat tempat khusus di bidang pertanian dan perdagangan, terutama sejak Gunung Tambora, yang berada di wilayah Kabupaten Bima dan Dompu, Pulau Sumbawa, meletus dahsyat tahun 1815. Lekker (1920) menyebutkan, tahun 1839 Lombok menjadi produsen kapas berkualitas baik, kayu Sepang, dan beras. Pada tahun itu, tercatat sedikitnya 18.000 ton beras dikeluarkan dari Lombok untuk dikirim ke Jawa, Madura, dan Makassar, bahkan sampai ke Mauritius dan Cina. Untuk mendukung pertanian Kapas di Lombok Tengah pemerintahan Belanda membangun sistem irigasi modern yang sampai sekarang dapat berfungsi dengan baik seperti Hight Level Divertions (HLD) Jangkok – Babak dan HLD Renggung.
Pada masa pemerintahan kolonial sistem Subak masih dipertahankan untuk mendukung kebijakan politik etis pemerintah. Alexander WF. Idenberg (1902) menetapkan tiga kebijakan dasar politik etis yaitu edukasi, imigrasi dan irigasi. Fock menyarankan kepada pemerintah kolonial Belanda bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi maka diusahakan pembangunan irigasi dan membeli kembali tanah – tanah partikelir. Walaupun pada praktiknya terjadi penyimpangan dimana pengairan hanya diberikan kepada lahan – lahan subur milik partikelir sedangkan lahan rakyat tidak diberikan pengairan.
Sistem Pengelolaan Air
Sietem pengelolaan air irigasi dalam masyarakat adat Sasak menganut sistem Subak di Bali sebagai akibat pengaruh kekuasan Karang Asem atas Lombok. Subak merupakan sistem pengaturan air, pembudidayaan padi, penerapan terasering di kawasan persawahan secara tradisional yang ada di Bali. Kegiatan dalam Subak mencakup perencanaan pertanian, peraturan, kerjasama, dan religi (Geertz 1980), sistem pengaturan ini memahami bahwa air merupakan sumberdaya yang begitu rumit sehingga harus dikelola secara menyeluruh. Secara tradisional pengelolaan ini telah berjalan dengan jaringan “pura air” yang telah terpisah dari kawasan dan secara bersama-sama dikelola (Lansing et al . 2009). Subak merupakan salah satu lanskap budaya yang dimiliki pulau Bali, sistem ini dikatakan sebagai salah satu lanskap budaya karena adanya keterkaitan antara pengelolaan irigasi, kepercayaan tradisional, dan organisasi sosial. Upacara selalu dilibatkan sejak awal penaburan benih, penyebaran benih, hingga pemanenan, termasuk di dalamnya petani secara bersama-sama memohon hasil.
Subak berasal dari suku kata Suak yang artinya sealiran air4, dalam bahasa Sasak disebur Seruak. Sebagai kearifan lokal subak yang menganut prinsip hubungan manusia dengan sesamanya (pawongan), hubungan manusia dengan alamnya (palemahan), dan hubungan manusia dengan Tuhan-nya (pakahayangan), dalam kepercayaan masyarakat Hindu disebut sebagai Ajaran Tri Hita Karana. Kelembagaan subak terdiri dari tiga unsur yaitu (1) Papan Kare, merupakan kelembagaan pada wilayah layanan sekunder/primer, (2) Saban Karo, merupakan kelembagaan pada wilayah layanan tersier, dan (3) Keliang Subak (Pekaseh) merupakan kelembagaan pada wilayah layanan Blok/Subak. Pekaseh inilah yang sehari – hari menjalankan tugas pelayanan air iirgasi kepada petani anggota subak. Pekaseh dalam menjalankan tugasnya mendapatkan jasa untuk menggarap tanah adat (Pecatu) atau iuran anggoata (Sweneh) yang besarnya ditentukan berdasarkan musyawarah subak.
Tata aturan pengelolaan Subak ditetapkan dalam aturan tertulis yang disebut sebagai Awig – awig. Awig-awig merupakan aturan yang telah disepakati oleh masyarakat sebagai aturan adat tertulis yang kedudukannya begitu kuat dan sangat dipatuhi oleh masyarakat. Pelanggaran terhadap awig – awig dapat dikenakan hukuman adat yang dapat berupa sangsi material dan sangsi sosial/adat. Dalam perkembangan Subak di masyarakat adat Sasak telah dilakukan internalisasi awig-awig berdasarkan Krame Adat Sasak . Krame Adat Sasak yang berlaku dalam masyarakat Sasak adalah krame adat yang termuat dalam naskah Kitab Kotaragama.
Kotaragama berasal dari kata Kotara = Wilayah dan Gama = Aturan Hukum, dengan demikian Kotaragama merupakan suatu peraturan hukum yang berlaku di wilayah adat masyarakat Sasak. Kotaragama ditulis pada tahun 1600 Saka atau 1674 M pada masa pemerintahan Raja Anak Agung Made Karang Asem ( 1692 – 1839 M ).
Krame Adat
Dalam praktek pengelolaan air irigasi dalam masyarakat adat Sasak beberapa peristiwa yang banyak terjadi adalah (1) pengerusakan jaringan dan bangunan irigasi, (2) Menggarap lahan irigasi tanpa izin, (3) mengambil air diluar jadwal gilir, (4) meminjam air, dan (5) pelampias yaitu upaya penyelamatan pada blok – blok terstentu karena suatu peristiwa yang akan berakibat pada gagal panen.
Dari lima peristiwa tersebut, maka kelembagaan subak dapat membuat peraturan dan sangsi (Krame Adat) berdasarkan aturan hukum yang termuat dalam naskah Kotaragama sebagai berikut :
1) Pengerusakan jaringan dan bangunan irigasi, dalam krame adat dapat maka dendanya berupa memperbaiki kembali dan uang 5000 kepeng bereng (5000 x 250 = Rp. 1250.000,00
2) Menggarap lahan irigasi tanpa izin, peristiwa ini disebut “Maling Ratne” yaitu suatu kondisi mengolah lahan tanpa seizin penguasa lahan. Sangsi adatnya berupa denda 2 x hasil panen.
3) Mengambil air diluar jadwal gilir, peristiwa ini disebut “Maling Ame” yaitu suatu kejadian dimana sesorang berkunjung ke wilayah orang lain yang menyebbabkan kehilangan benda atau air. Sangsi adatnya beruapa mengembalikan barang yang diambil 2 x lipat ditambah 4000 Kepeng Bereng (1 kepeng bereng bernilai 250 rupiah). Sebagai ilustrasi misalnya anggota subak mengambil air tanpa izin 400 lt/det, maka pada saat gilirannya harus mengganti sebesar 800 lt/det ditambah dengan 4000 x 250 = Rp. 1.000.000,00.
4) Meminjam air, yaitu suatu peristiwa subak dalam keadaan yang mendesak membutuhkan air diluar jadwalnya maka dia dapat meminjam air milik subak lain sepanjang subak yang dipinjam tidak terlalu membutuhkan air. Peristiwa pinjam meminjam air dalam Naskah Kotaragama belum diatur secara rinci namun peristiwa ini tidak dapat dihindari maka kedua belah pihak melakukan akad dan pihak peminjan berkewajiban untuk menggantinya disertai dengan pemberian taliasih berdasarkan keikhlasannya. Berkaitan dengan bentuk perjanjian maka dapat dituangkan ke dalam Perame (perjanjian tidak tertulis turunan dari awig-awig).
5) Pelampias, yaitu suatu peristiwa untuk menyelamatkan lahan dalam wilayah kesubakan yang mengalami kekeringan. Untuk dapat melaksanakan pelampias ini maka Subak dalam penentuan jadwal gilir air terutama pada daerah irigasi yang menerapkan sistem golongan menetapkan hari khusus tanpa jadwal. Misalnnya di DI. Jurang Sate terbagi dalam 4 golongan dan menetapkan jadwal gilir 30 hari setiap bulannya yang terbagi dalam empat golongan, untuk kebutuhan pelampias maka 30 hari tersebut tidak dihabiskan tetapi disisakan 2 hari untuk pelampias sehingga di DI. Jurang Sate diberlakukan pola 28 hari jadwal gilir dan 2 hari jadwal pelampias.
Kotaragama, juga mengatur tentang nilai – nilai kepemimpinan (leadership) juga mengatur masalah kesejahteraan rakyat, keadilan, perkawinan, hutang piutang, gadai, hak kewajiban rakyat dan perpajakan. Kotaragama sebagai kitab Undang – Undang kerajaan sudah cukup lengkap untuk dijadian panduan dalam penyusunan awig – awig perkumpulan petani pemakai air dalam masyarakat adat sasak.
AMAQ SERUNI
Daftar Pustaka :
1. “Marwati, Joned, Pusponegoro, 1993 : 37 Sejarah Indonesia Jlid IV, Balai Pustaka Jakarta, 1993”.
2. “Sistem Subak Dan Subak Abian Pada Tatanan Lanskap Di Bali (Subak And Subak Abian System In Landscape Level Of Bali) Ida Ayu Ari Janiawati” .
3. “Misbakhudin, www. Academia.edu/9529139, Published 6 Desember 1913”.
4. “M. Fauzi Sutopo (Konsultan Sosek Proyek SCBFWM), Published 9 September 2013