Monthly Archives: September 2015

awig – awig petani pemakai air dalam sistem adat masyarakat sasak

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Sejarah Irigasi Nusantara

sasaQgagah – Nusantara adalah negeri yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan ragam budaya yang tiada tandingannya di dunia, sejak perkembangan peradaban nusantara dari masa bercocok tanam dan akhir masa perunggu kegiatan pertanian menjadi tulang punggung suku – suku yang mendiami bumi Nusantara ini. Sejak Animisme, Syiwa Hindu, Shiwa-Budha, dan Islam dijadikan pondasi dasar kepercayaan masyarakat Nusantara kepada Tuhan YME yang telah mengajarkan konsep tentang bagimana manusia menghadapi tantangan lingkungannya baik fisik maupun sosial agar dapat bertahan. Wujudnya tidak lain adalah nilai-nilai.keselarasan dengan alam, termasuk dalam kegiatan pertanian. Dalam perkembangannya pengelolaan sumber daya air memegang peranan penting dalam kegiatan bercocok tanam masyarakat baik sejak zaman raja – raja nusantara sampai NKRI sekarang.

Pembangunan irigasi sudah berkembang sejak zaman Kutai Martadipura ( 350 – 1605 M ) yang mengalirkan air dari anak – anak sungai Mahakam untuk kegiatan pertanian dan peternakan. Pada masa Tarumanegara ( 358 – 669 M ) irigasai juga telah menjadi pertanian utama dengan menggali sungai Gomati dan candrabaga sepanjang 6112 tombak atau 11 Km, Raja Mataram Kuno Rakai Pikatan ( 850 M ) membelokkan aliran Kali Opak mendekati Candi Prambanan yang dianggap sebagai proyek besar pada masa itu. Mpu Sindok ( 929 – 948 M ) membangun bendungan dan membagikan tanah – tanah pertanian untuk masyarakat. Hayam Wuruk ( 1350 – 1389 M ) membangun Embung yang besar di Trowulan yang dipergunakan untuk mengairi sawah – sawah. Wangsa Warmadewa yang memerintah Bali Kuno ( 882 – 914 M ) juga telah membangun sistem irigasi yang menjadi pondasi dasar sistem Subak, dan penyempurnaan tata kelola subak oleh Raja Anak Wungsu Waturenggong ( 1049 – 1077 M ) dari kerajaan Gelgel Bali.

Lombok Mirah Sasak Adi, demikian nama yang diberikan oleh Mpu Tantular dalam Kitab Negara Kertha Ghama kepada pulau Lombok. Dalam babab Lombok yang menceritakan perkembangan raja – raja di Lombok tidak ada satupun tulisan yang menjelaskan tentang sistem irigasi masyarakat adat Sasak. Sistem pengairan yang berkembang di masyarakat agraris Sasak sekarang ini adalah sistem Subak Bali. Sistem Subak Bali diperkenalkan pertama kali oleh Gelgel, Klungkung, Karang Asem, Mataram dan Shingasari (Cakranegara) yang menguasai pulau Lombok dari 1600 – 1950 M.

Masa pemerintahan kolonial Belanda, Lombok semakin mendapat tempat khusus di bidang pertanian dan perdagangan, terutama sejak Gunung Tambora, yang berada di wilayah Kabupaten Bima dan Dompu, Pulau Sumbawa, meletus dahsyat tahun 1815. Lekker (1920) menyebutkan, tahun 1839 Lombok menjadi produsen kapas berkualitas baik, kayu Sepang, dan beras. Pada tahun itu, tercatat sedikitnya 18.000 ton beras dikeluarkan dari Lombok untuk dikirim ke Jawa, Madura, dan Makassar, bahkan sampai ke Mauritius dan Cina. Untuk mendukung pertanian Kapas di Lombok Tengah pemerintahan Belanda membangun sistem irigasi modern yang sampai sekarang dapat berfungsi dengan baik seperti Hight Level Divertions (HLD) Jangkok – Babak dan HLD Renggung.

Pada masa pemerintahan kolonial sistem Subak masih dipertahankan untuk mendukung kebijakan politik etis pemerintah. Alexander WF. Idenberg (1902) menetapkan tiga kebijakan dasar politik etis yaitu edukasi, imigrasi dan irigasi. Fock menyarankan kepada pemerintah kolonial Belanda bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi maka diusahakan pembangunan irigasi dan membeli kembali tanah – tanah partikelir. Walaupun pada praktiknya terjadi penyimpangan dimana pengairan hanya diberikan kepada lahan – lahan subur milik partikelir sedangkan lahan rakyat tidak diberikan pengairan.

Sistem Pengelolaan Air

Sietem pengelolaan air irigasi dalam masyarakat adat Sasak menganut sistem Subak di Bali sebagai akibat pengaruh kekuasan Karang Asem atas Lombok. Subak merupakan sistem pengaturan air, pembudidayaan padi, penerapan terasering di kawasan persawahan secara tradisional yang ada di Bali. Kegiatan dalam Subak mencakup perencanaan pertanian, peraturan, kerjasama, dan religi (Geertz 1980), sistem pengaturan ini memahami bahwa air merupakan sumberdaya yang begitu rumit sehingga harus dikelola secara menyeluruh. Secara tradisional pengelolaan ini telah berjalan dengan jaringan “pura air” yang telah terpisah dari kawasan dan secara bersama-sama dikelola (Lansing et al . 2009). Subak merupakan salah satu lanskap budaya yang dimiliki pulau Bali, sistem ini dikatakan sebagai salah satu lanskap budaya karena adanya keterkaitan antara pengelolaan irigasi, kepercayaan tradisional, dan organisasi sosial. Upacara selalu dilibatkan sejak awal penaburan benih, penyebaran benih, hingga pemanenan, termasuk di dalamnya petani secara bersama-sama memohon hasil.

Subak berasal dari suku kata Suak yang artinya sealiran air4, dalam bahasa Sasak disebur Seruak. Sebagai kearifan lokal subak yang menganut prinsip hubungan manusia dengan sesamanya (pawongan), hubungan manusia dengan alamnya (palemahan), dan hubungan manusia dengan Tuhan-nya (pakahayangan), dalam kepercayaan masyarakat Hindu disebut sebagai Ajaran Tri Hita Karana. Kelembagaan subak terdiri dari tiga unsur yaitu (1) Papan Kare, merupakan kelembagaan pada wilayah layanan sekunder/primer, (2) Saban Karo, merupakan kelembagaan pada wilayah layanan tersier, dan (3) Keliang Subak (Pekaseh) merupakan kelembagaan pada wilayah layanan Blok/Subak. Pekaseh inilah yang sehari – hari menjalankan tugas pelayanan air iirgasi kepada petani anggota subak. Pekaseh dalam menjalankan tugasnya mendapatkan jasa untuk menggarap tanah adat (Pecatu) atau iuran anggoata (Sweneh) yang besarnya ditentukan berdasarkan musyawarah subak.

Tata aturan pengelolaan Subak ditetapkan dalam aturan tertulis yang disebut sebagai Awig – awig. Awig-awig merupakan aturan yang telah disepakati oleh masyarakat sebagai aturan adat tertulis yang kedudukannya begitu kuat dan sangat dipatuhi oleh masyarakat. Pelanggaran terhadap awig – awig dapat dikenakan hukuman adat yang dapat berupa sangsi material dan sangsi sosial/adat. Dalam perkembangan Subak di masyarakat adat Sasak telah dilakukan internalisasi awig-awig berdasarkan Krame Adat Sasak . Krame Adat Sasak yang berlaku dalam masyarakat Sasak adalah krame adat yang termuat dalam naskah Kitab Kotaragama.

Kotaragama berasal dari kata Kotara = Wilayah dan Gama = Aturan Hukum, dengan demikian Kotaragama merupakan suatu peraturan hukum yang berlaku di wilayah adat masyarakat Sasak. Kotaragama ditulis pada tahun 1600 Saka atau 1674 M pada masa pemerintahan Raja Anak Agung Made Karang Asem ( 1692 – 1839 M ).

Krame Adat

Dalam praktek pengelolaan air irigasi dalam masyarakat adat Sasak beberapa peristiwa yang banyak terjadi adalah (1) pengerusakan jaringan dan bangunan irigasi, (2) Menggarap lahan irigasi tanpa izin, (3) mengambil air diluar jadwal gilir, (4) meminjam air, dan (5) pelampias yaitu upaya penyelamatan pada blok – blok terstentu karena suatu peristiwa yang akan berakibat pada gagal panen.

Dari lima peristiwa tersebut, maka kelembagaan subak dapat membuat peraturan dan sangsi (Krame Adat) berdasarkan aturan hukum yang termuat dalam naskah Kotaragama sebagai berikut :

1) Pengerusakan jaringan dan bangunan irigasi, dalam krame adat dapat maka dendanya berupa memperbaiki kembali dan uang 5000 kepeng bereng (5000 x 250 = Rp. 1250.000,00

2) Menggarap lahan irigasi tanpa izin, peristiwa ini disebut “Maling Ratne” yaitu suatu kondisi mengolah lahan tanpa seizin penguasa lahan. Sangsi adatnya berupa denda 2 x hasil panen.

3) Mengambil air diluar jadwal gilir, peristiwa ini disebut “Maling Ame” yaitu suatu kejadian dimana sesorang berkunjung ke wilayah orang lain yang menyebbabkan kehilangan benda atau air. Sangsi adatnya beruapa mengembalikan barang yang diambil 2 x lipat ditambah 4000 Kepeng Bereng (1 kepeng bereng bernilai 250 rupiah). Sebagai ilustrasi misalnya anggota subak mengambil air tanpa izin 400 lt/det, maka pada saat gilirannya harus mengganti sebesar 800 lt/det ditambah dengan 4000 x 250 = Rp. 1.000.000,00.

4) Meminjam air, yaitu suatu peristiwa subak dalam keadaan yang mendesak membutuhkan air diluar jadwalnya maka dia dapat meminjam air milik subak lain sepanjang subak yang dipinjam tidak terlalu membutuhkan air. Peristiwa pinjam meminjam air dalam Naskah Kotaragama belum diatur secara rinci namun peristiwa ini tidak dapat dihindari maka kedua belah pihak melakukan akad dan pihak peminjan berkewajiban untuk menggantinya disertai dengan pemberian taliasih berdasarkan keikhlasannya. Berkaitan dengan bentuk perjanjian maka dapat dituangkan ke dalam Perame (perjanjian tidak tertulis turunan dari awig-awig).

5) Pelampias, yaitu suatu peristiwa untuk menyelamatkan lahan dalam wilayah kesubakan yang mengalami kekeringan. Untuk dapat melaksanakan pelampias ini maka Subak dalam penentuan jadwal gilir air terutama pada daerah irigasi yang menerapkan sistem golongan menetapkan hari khusus tanpa jadwal. Misalnnya di DI. Jurang Sate terbagi dalam 4 golongan dan menetapkan jadwal gilir 30 hari setiap bulannya yang terbagi dalam empat golongan, untuk kebutuhan pelampias maka 30 hari tersebut tidak dihabiskan tetapi disisakan 2 hari untuk pelampias sehingga di DI. Jurang Sate diberlakukan pola 28 hari jadwal gilir dan 2 hari jadwal pelampias.

Kotaragama, juga mengatur tentang nilai – nilai kepemimpinan (leadership) juga mengatur masalah kesejahteraan rakyat, keadilan, perkawinan, hutang piutang, gadai, hak kewajiban rakyat dan perpajakan. Kotaragama sebagai kitab Undang – Undang kerajaan sudah cukup lengkap untuk dijadian panduan dalam penyusunan awig – awig perkumpulan petani pemakai air dalam masyarakat adat sasak.

AMAQ SERUNI

Daftar Pustaka :
1. “Marwati, Joned, Pusponegoro, 1993 : 37 Sejarah Indonesia Jlid IV, Balai Pustaka Jakarta, 1993”.
2. “Sistem Subak Dan Subak Abian Pada Tatanan Lanskap Di Bali (Subak And Subak Abian System In Landscape Level Of Bali) Ida Ayu Ari Janiawati” .
3. “Misbakhudin, www. Academia.edu/9529139, Published 6 Desember 1913”.
4. “M. Fauzi Sutopo (Konsultan Sosek Proyek SCBFWM), Published 9 September 2013

ADAT PERKAWINAN SUKU SASAK (Bagian 6 : Terakhir)

amaq seruni*

Parigan Pembayun Penampi

Assalamu’alaikum, Wr. Wb
Singgih, Dané tetami agung sedayé, dening kerawuhan jeng andike sami, boten liyan hing kang dados hatur tityang minangke hatur panampian, mapan titiyang humatur “ sugeng Rawuh” dumateng jeng andike sami.

Lan hatur panambrame titiyang dumateng jeng andike sami nénten ne kari, déné mengkane, singgih kahatur dumateng : Datu, Raden, Rahadyan sami, Dané pamengku Rat, Dané Pengemban krame, Dané Linggih Krame minangke, Dané sesepuh, dané Penglingsir, muang Dané Pengarseng ugame, jeng andike Dané panji kang wicaksane, sang awiku AL-Mukarram tuan guru, Dané Alim ulama sami, Dané Sentane muang pare bujangge kang perdakse luwih, Dané – dané Menak Buling lan perwangse sami.

Pan titiyang humatur “ Nede Lurgahe “.
Muang prasamie kang nyarengin titiyang, ingkang angapit kiwe, tengen lan huntat.

Nalike duk titiyang minangke perkanggo nipun sampun prayugi nyuwunanen kang nyareng titiyang sadye humatur panambrame dumateng jeng andike sami “ Nede Lurgahe “

Parigan Aksami

Singgih , Dané tetami agung kanjeng panji luwih.
Nalike duk katilar déning nile kusume, nalike hiku tumekéng mangkin, tyas marwate winengu datan pegat.
Nanging muge – mugi jeng andike rawuh agamel tambe, dyastun tambe salembar godong larangan.
Daweg Pangeran . . . . . . . . Titiyang sami anede.

Priwekas Penampian

Hiya jelejek hudan salah mangse . . . . . . . diwe . . . . . . .

Puh Maskumambang
Wus lawas titiyang brangte king – king.
Katilar déning nile kusume.
Lor wetan ngidul ngulon angulati.
Anging nore kapanggye.

Gulisahan kang lulun suku anangis.
Anéng sajembaring marge
Sarwi yeh hing waspe deras mijil
Lah wangsule nile kusume.

Duh Pangeran baye andike darbe pawarti
Endi laku nile kusume
Daweg pajar titiyang sayowekti
Minangke pangégar sarire.

Puh Pangkur
Buduh lali angilang tate titiyang sami kagyat toassé aruntik.
Mapan wonton suare karungu kadye obah kang pertale lintang rame grah gumuruh luwir ambencah wyat jerih wedi sami miyarsi.

Angerem – rem tijaning baskare kasenenan dening busane ning tami katon baris kadye blabur.
Luwir ukir kewelahar sapaninggal luwir taman agung dening mance kang warne abang jenar petak asri.

Priwekas

Hiya jukung . . . . . . . . Bali . . . . . . . . .
Jukung Bali . . . . . . . . Jukung Bali . . . . . . .
Nojeng samudre, umbak . . . . . , Umbul . . . . . . . , tengeng segare . .. . . . lalo dateng . . . . . . . Duh marak . . . . . Umbak.

Malah sanalike titiyang sami agendu rase ambalang wacane, pade mikir, ninide panuduh dening ALLAH kang kawase, moge mugi katuduh marge hayu anampi kerawuhan tetami agung, anging déréng sat

Punang rerasan, karungu sware ramé, geger ambelah karne.
Lempung . . . . . Lembut . . . . . Hiya . . . . . . Ro . . . .. . Wang.
Duh rame aji, rakaji sedaye, daweg pade ilingne, ayuwe te pade lali, lah samie iling makiling sedaye, ajene kirang prayatne.

Puh Durme
Kacrian kagégéran wadye negare sware gerah gumirih.
Luwir obah kang pertale
Hanonton merpaking marge
Tan etang anak bini
Haselur sineluran
Hing dadalan atumpang tindih.

Tanne sari baris agung humedal
Gilang – gilang cahye nelahi
Déning teja kang busane
Akedép akunang – kunang
Luwir hyang anampak siti
Kinayap dening ponggawe
Pare prabu muang mantri.

Duh . . . . . . Rame aji, Rake aji sedaye mapan mangkin kerawuhan tetami agung ingkang linuwih.
Paran polah paran tingkah anampani, daweg pade jaténangen denage pantes patus praniti anampi.
Singgih prabu dute kang mahe luhung, ayuwe te kaseling kayun yen titiyang kirang tate anampi jeng andike.

Parigan Wiware

Singgih, Dané panji kang wacaksane, déning ring ayun jeng andike wonten babahan gamongan minangke wiwarené lace – lace, minangke pangiling – iling benjang benjing maring anak putu, moge – mugi jeng andike suwice awetok sadidik diastun kinarye panuku paran – paran.

Parigan Nampi Aji Krame

Singgih, nalike mangkin duk ring diwase/rahine . . . . . . . Tithi/like . . . . . . . . . . . Sasih . . . . . . . warse . . . . . .
Kedawuh aken ( Ngeluhuring peparab ) antuk Dané Pamengku Rat ring . . . . . . . . . Negare, make miwah antuk Dané pengemban Krame Ring . . . . . . . . Kekeliangan lan antuk Dané linggih Krame ring . . . . . . .Negare, nenten lali antuk kang darbéning karye / kardi / dap / gawé pacang nampi aji krame game suci népun . . . . . . . . . . Beja / Putri /Anak / Kapernah hire . . . . . saking . . . . . Kekeliangan / lingkungan . . . . . . . . Negare . . . . . ingkang sampun bejangkep / matunggal kayun / apale krame / mulang raras / merarik, sareng / kalawan . . . . . . Beja / Putri / Anak / Kapernah hire . . . . . saking . . . . . Kekeliangan / lingkungan . . . . . Negare.
Aji krame pacang titiyang tapi, skadi pembaosan ring sidang upekare puniki, Aji . . . . ingkang menampak lemah . . . . . . olen – olen . . . . . tegep . . . . .
Sejawining aji skadi dulur ipun penjaruman, . . . . . . pemenggel . . . . . kaserte lambing-lambang adat liyan ipun : Kebo Turu, Salin Dédé, Cerakén, Tepak, Béké, Pemurung, lan liyan-liyan.
Daweg prasamie minangke penampi maring upekare puniki, dénagé kasaksi.

Pangetang Aji Krame

Perhitungan aji krame dimulai dari Sirah Aji (Otak Bebeli) yang dilanjutkan dengan Nampak Lemah, kemudian Olen – olen. Yang boleh masuk dalam aji krame adalah : Otak Bebeli, Nampak Lemah, Sirah Game, Sirah Adat, Leweng (Piring kuning), Kebo Turu (Keris), Olen – olen (Kain), dan Bangket (Sifat spesifik).

Sedangkan lambang – lambang adat yang lainnya masuk dalam : Dulur aji krame dan Pudak sekar.
1) Dulur Aji Krame, meliputi : Penjaruman / Cemeti / Pelombok / Pemonggol / Tedung Karet, Pemegat / pemenggel, dan Gaman dise.
2) Pudak Sekar, meliputi : Salin Dédé, Tepak, Béké, Ceraken, Pemurung, Gadang, Rangkap, Dll.

Singgih, dening aji krame make miwah dulur ipun lan lambang-lambang adat liyan ipun sampun kaétang tegep, prayogyé aji krame puniki titiyang tampi dening atur “ Alhamdulillahirabbil Alamin “.
Setelah aji krame diterima maka sudah tidak ada lagi pihak laki-laki dan pihak perempuan karena kedua belah pihak berubah menjadi para penyaksi peresmian pernikahan secara adat sasak. Peresmian pernikahannya melalui acara pemenggel / pemegat, sekaligus menjadi batas pertanggung jawaban orang tua atas anak secara duniawi.

*) Penyunting adalah sekretaris Pengemban Budaya Adat Sasak (PEMBASAK) Kabupaten Lombok Tengah

ADAT PERKAWINAN SUKU SASAK (Bagian 5)

amaq seruni*

Sangsi – Sangsi
sasaQgagah – Dalam kehidupan sehari-hari suku Sasak memberlakukan sangsi jika terjadi suatu masalah diluar kebiasaan / pelanggaran etika yang telah disepakati. Untuk menghindari hal – hal yang tidak diinginkan (pelanggaran), suku Sasak menerapkan beberapa aturan kehidupan dalam bermasyarakat, kemudian dibuat juga sangsi-sangsi dari pelanggaran etika / aturan tersebut.

Sebagian besar sangsi-sangsi tersebut diambil dari naskah “KOTARA GAMA“, yang kemudian disesuaikan dengan hukum-hukum islam yang berlaku pada masa itu. Adapun sangsi-sangsi tersebut dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Ilang (Ditiadakan).
Sangsi Ilang ini akan diberikan pada siapa saja yang melakukan pelanggaran dan tidak mungkin untuk didenda, antara lain seperti membunuh orang, mengambil istri dari yang haram untuk dinikahi, dan perbuatan yang pernah mendapat sangsi denda pati.

2. Denda (Pengganti).
Sangsi denda terbagi dalam 3 klasifikasi / kategori yaitu:
a) Sangsi Utama.
Sangsi utama dikenakan apabila melakukan gawenen pati (Perbuatan yang mengancam nyawa), seperti ; Gile tangan, Gile bibir, Gile mate, Salah tingkah, Pernah didenda dengan sangsi madya, dll.
b) Sangsi Madya.
Sangsi madya dikenakan apabila melakukan kesalahan/pelanggaran yang dianggap menengah, misalnya seperti ; Ngapas aken, Béro, bale gandang, Ngamberayang, enduge, Peléngkak, Emugah, dll.
c) Sangsi Pratama.
Sangsi pratama biasanya muncul / sering dijumpai pada upacara sorong serah aji krame dan besar/nilai dendanya disesuaikan dengan nilai pemenggel / pemegat.

Nilai denda sebagai berikut :
1) Denda Pati (Utama) = sebesar 49.000 Kepeng Bereng (setara dengan nilai rupiah tergantung aturan karma setempat.
2) Denda Madya = setengah dari denda pati.
3) Pelengkak untuk laki – laki = sepengadek busana laki – laki, untuk wanita sepengadek busana wanita. (Busana yang dimaksud adalah busana adat atau busana muslim, selain itu pelengkak dapat dinilai dengan uang.

Maksud dari istilah dalam sangsi utama adalah :
1) Gile tangan, adalah : apabila memegang wanita yang telah akil baliq dan wanita tersebut halal untuk dinikahi baik yang masih gadis, janda maupun istri orang lain.
2) Gile bibir, adalah : apabila berbicara yang kasar sehingga membuat orang lain menjadi tersinggung.
3) Gile mate, adalah : apabila dengan sengaja mengintip seorang wanita yang sedang mandi ataupun yang sedang tidur didalam rumah, termasuk juga mengintip pasangan penganten baru.
4) Salah tingkah, adalah : apabila memasuki rumah milik orang lain sedangkan pemilik rumah tidak ada.
5) Apabila mendekati wanita sedangkan suaminya tidak ada dirumah.
6) Ingin membantu orang lain sedangkan tidak tepat situasi dan kondisinya.
7) Ngapas aken, adalah : apabila mengambil wanita untuk dijadikan istri tetapi tidak dirumahnya dan dilakukan pada siang hari.
8) Bero, adalah : apabila mengambil wanita untuk dijadikan istri tetapi wanita tersebut masih keluarga namun tidak sebahasa, misalnya seperti;
9) Ngemban ponaan, yaitu apabila si wanita sedang disebut/dianggap sebagai keponakan (Bahasa ponaan) .
10) Ngemban bibi, yaitu apabila si wanita sedang dianggap sebagai bibi atau uak (Bahasa bibi).
11) Ngemban eyang, yaitu apabila si wanita sedang dianggap sebagai eyang (Bahasa eyang).
12) Denda Bero berlaku sampai pada 5 keturunan, seperti ;
– Ayah = Amaq.
– Kakek = Papuk.
– Balok = Buyut.
– Tate = Tate.
– Toker = Toker.

13) Bale gandang, adalah : apabila mengambil wanita untuk dijadikan istri dan dilakukan pada siang hari dan dibantu oleh orang lain.
14) Ngamberayang, adalah : apabila melakukan perbuatan onar/kekacauan dan jika melaksanakan kesalahan dalam menjalankan proses-proses adat .
15) Enduge, adalah : apabila melakukan perbuatan yang menyepelekan atau tidak menghargai orang lain.
16) Peléngkak, apabila mengambil wanita untuk dijadikan istri tetapi si wanita masih memiliki saudara yang lebih tua (kakak) yang belum menikah.
– Pelengkak juga dikatakan sebagai pelanggaran tertib.
17) Emugah, adalah : apabila mengambil wanita untuk dijadikan istri ditengah jalan (bukan dari rumah wanita) dan bersifat memaksa.
18) Sangsi Musaharah, adalah sangsi yang dijatuhkan apabila melakukan pernikahan dengan yang haram untuk dinikahi, seperti ;
– Istri kakek
– Ibu kandung
– Menantu
– Istri cucu
– Cucu
– Anak tiri
– Saudara kandung
– Bibi dari ayah
– Bibi dari ibu
Selain itu, diharamkan juga apabila menduakan istri (poligami) :
– Saudara kandungnya
– Bibi dari ayahnya
– Bibi dari ibunya.
– Sangsi yang dijatuhkan adalah : Dibuang.
19) Sangsi Hamatang Tunas, adalah apabila menuduh orang lain mencuri, merampok tapi tidak memiliki bukti.
– Sangsi orang tersebut adalah : Denda pati.
20) Sangsi Hamuk Tunjel, adalah apabila membakar rumah orang lain.
– Sangsinya adalah : Mengembalikan semua kerugian pemilik rumah yang dibakar dan denda 2.500 kepeng.
21) Sangsi Kalalu, adalah apabila melakukan tenung (meneluh)/mengguna-gunai orang lain dan memiliki bukti hingga orang lain jatuh sakit.
– Sangsinya adalah : Di usir.
22) Sangsi Cor, adalah apabila ada yang dituduh menenung/meneluh tetapi tidak ada bukti dan orang yang dituduh tidak mengakuinya.
– Sangsi keduanya adalah : Sangsi Cor.
– Jika salah satu orang tidak berani, maka orang yang tidak berani tersebut diberi : Denda 2.100 kepeng atau disumpah Cor.
23) Sumpah Cor adalah : dilakukan dengan cara ditenggelamkan dengan rambut dikeramas (disanggul cina), tangan dan kaki diikat serta surat Cor diletakkan diatas kepala yang kemudian diberatkan dengan batu sepaha. Ini dilakukan oleh para ulama setempat.

Tanding Ajar
Disamping aturan-aturan tersebut diatas, ada juga aturan yang bersifat khusus yaitu “ TANDING ANJAR “ ( Kebebasan memilih ). Aturan ini dilaksanakan apabila telah dicari jalan keluar/penyelesaian namun tidak bisa tuntas, maka hukum/aturan tanding anjar ini dapat diterapkan/dijalankan.

Contoh :
1. Apabila seorang wanita yang telah berjanji untuk menikah tetapi dalam waktu yang sama dia berjanji dengan lebih dari 1 orang, maka wanita tersebut harus memilih salah satu dari laki-laki yang telah dia janjikan/sanggupi tersebut.
Acara tanding anjar (pemilihan) ini dilakukan dalam musyawarah para pemuka adat dan pemuka agama yang dihadiri oleh : si wanita dan para lelaki yang telah disanggupi (dapat diwakili oleh perantara/subandar).
2. Apabila ada wanita yang hamil, tetapi kehamilannya disebabkan oleh banyak orang, maka hukum tanding anjarpun dapat dilaksanakan.
Pada kondisi ini terjadi pemaksaan tanggungjawab pada seorang lelaki/pelaku untuk menjadi suami (calon ayah) dari anak yang dikandung si wanita. Pemaksaan ini tentunya pada salah satu yang dipilih oleh si wanita, sedangkan yang lain harus didenda dengan denda pati.
Salah atau benar yang dipilih oleh si wanita untuk dijadikan ayah dari anak yang dikandungnya, adat sasak tidak memandang itu tetapi dititk beratkan kepada penutupan aib secepatnya karena tidak mungkin melakukan pembuktian nyata (tes DNA) dalam waktu singkat sehingga ketika bayi lahir nantinya memiliki orang tua yang lengkap (ibu dan ayah).

Perihal Maskawin
a). Apabila seorang wanita (istri) tidak pernah berhubungan badan (Digauli) oleh suaminya, lalu mereka bercerai maka semua pemberian dari suami harus dikembalikan lagi. Hal ini disebut : KABLADUHUL.
b). Jika seorang wanita (istri) meninggal dunia dan belum pernah berhubungan badan (Digauli) dengan suaminya, maka suami tidak boleh mengambil kembali semua pemberiannya pada istri selama menikah.

*) Penyunting adalah sekretaris Pengemban Budaya Adat Sasak (PEMBASAK) Kabupaten Lombok Tengah