Monthly Archives: Desember 2016

PENYUSUNAN PERATURAN DESA (PERDES) SEBAGAI BENTUK TATA KELOLA PEMERINTAHAN DESA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT

A. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat desa bukan kumpulan orang yang homogen, namun terdiri dari berbagai individu yang mempunyai masalah dan kepentingan sendiri. Oleh karenanya keterlibatan semua golongan masyarakat dalam pembangunan perdesaan adalah sangat penting. Golongan yang paling diperhatikan adalah masyarakat yang paling rendah memiliki akses sosial dan ekonomi (miskin, kaum perempuan, anak –anak, dll). Semangat untuk saling menghargai perbedaan tersebut adalah sangat penting artinya dalam pengorganisasian masalah dan penyusunan prioritas arah penyelesaian masalah oleh masyarakat sendiri sebagai pemiliknya.

Keberhasilan Pelaksanaan Pembangunan masyarakat desa (community development) sangat bergantung kepada peranan pemerintahan desa dan masyarakatnya. Keduanya harus mampu menciptakan sinergi untuk mencapai hasil pembangunan yang optimal. Selain memerlukan keterlibatan masyarakat pembangunan juga membutuhkan strategi yang tepat agar dapat lebih efisien dari segi pembiayaan dan efektif dari segi hasil. Pembangunan harus menghasilkan produk – produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Peran pemerintahan desa akan membuat pembangunan akan berjalan secara teratur dan terarah.

Untuk dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat, terdapat dua hal yang harus dilakukan oleh pemerintahan desa. Pertama, aspiratif terhadap aspirasi masyarakat, dan sensitive terhadap kebutuhan rakyatnya. Kedua, pemerintahan desa melibatkan segenap kemauan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan kata lain pemerintahan desa harus menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan (bottom up).

Seiring penerapan Undang Undang (UU) no 6 Tahun 2014 Tentang Desa, maka peran pemerintahan desa menjadi sangat penting artinya untuk meningkatkan peran serta masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Poin semacam ini memperluas konsep dan gagasan bagi desa utamanya, dalam upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penerapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa (Lesa dan The Ford Foundations, 2015).

Untuk lebih memberikan peran kepada masyarakat dalam pembangunan desa, maka perlu dikembangkan suatu tata kelola pemerintahan desa yang baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pembangunan dengan melibatkan masyarakat dalam setiap proses tersebut dalam upaya menggali aspirasi yang berkembang di masyarakat melalui musyawarah mulai dari tingkat dusun/kampung, Setiap tahapan proses yang dilalui merupakan proses pembelajaran masyarakat untuk menemukan kelemahan yang akan didorong menjadi kekuatan bersama masyarakat desa.

1.2 Rumusan Masalah

Problem kemiskinan begitu kompleks dan bersifat multidimensional. Kemiskinan bukanlah sekedar persoalan rendahnya kepemilikan aset berbagai sumberdaya melainkan jauh lebih mendalam. Kemiskinan merupakan sebuah konsekuensi dari proses pembangunan yang cenderung menciptakan kondisi dimana the winner take all, the looser getting nothing. Karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan harus didasarkan pada semangat not bussiness ass usual. Dimana, perubahan pola pikir aktor pembangunan merupakan sebuah keniscayaan dan harus diwujudkan dalam langkah langkah kebijakan strategis (Zaini dan Taqiuddin, 2014).

Kebijakan strategis yang dapat diambil oleh pemerintahan desa adalah melakukan tata kelola pemerintahan desa yang baik. Tata kelola dapat dilakukan dengan cara penyusunan peraturan desa (regulasi) yang lebih baik.

B. METODOLOGI PEMBANGUNAN DESA

2.1 Kajian Pembangunan Partisipatif

Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan perencaaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat pada umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up approach). Meskipun demikian, perencanaan pembangunan yang melibatkan semua unsur/komponen yang ada dalam masyarakat tanpa membeda-bedakan golongan dan status sosial dan pendidikan tersebut merupakan langkah positif yang patut untuk dicermati dan dikembangkan secara berkesinambungan, sekaligus sebagai paradigma baru yang berbeda dengan model-model perencanaan yang lain.

Pembangunan melalui partisipasi masyarakat merupakan salah satu upaya untuk memberdayakan potensi masyarakat dalam merencanakan pembangunan yang berkaitan dengan potensi sumberdaya lokal berdasarkan pendekatan musyawarah, yaitu peningkatan aspirasi berupa keinginan dan kebutuhan nyata masyarakat, peningkatan motivasi dan peran serta kelompok masyarakat dalam proses pembangunan desa, dan peningkatan rasa memiliki pada kelompok masyarakat terhadap program kegiatan yang telah disusun.

Prinsip kerja dari pembangunan perdesaan melalui partisipasi masyarakat adalah sebagai berikut : (1) program kerja disampaikan secara terbuka kepada masyarakat dengan melakukan komunikasi partisipatif agar mendapat dukungan masyarakat, (2) program kerja dilaksanakan melalui kerjasama dan kerja bersama kelompok antara masyarakat, pejabat desa dan segenap warga dalam rangka memperkecil hambatan dalam program, (3) program kerja tidak mengarah pada golongan tertentu di masyarakat atau kelompok agar tidak menimbulkan perpecahan, (4) selama program berjalan, koordinasi selalu dilakukan secara vertikal maupun horizontal, (5) tidak perlu bersikap superior atau “merasa paling tahu” dalam setiap kesempatan pelaksanaan program kerja, (6) tidak perlu memberikan janji kepada siapapun tetapi kesungguhan kerja dalam konteks program kerja yang sudah ditentukan.

Pemgembangan masyarakat dengan segala kegiatan didalamnya mengadopsi metode kerja “doing with the community” yang merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi kebutuhan yang sifatnya real needs, felt needs dan expected needs. Berbagai metode yang digunakan dalam proses perencanaan partisipasi pembangunan masyarakat desa adalah; Partisipasi Rural apraisal (PRA), Kaji Tindak Partisipatif (KTP), Participatory Research and Development (PRD), Rapid Rural Apraisal (RRA), Participatory Actions Research (PAR), Pemahaman Partisipatif Kondisi Pedesaan (PPKP), Participatory Learning Methods (PLM), dan Metodologi Partisipatory Assessment (MPA).
Dalam kegiatan pengawasan pembangunan, setiap individu maupun kelompok dalam masyarakat berhak dan berkewajiban berpartisipasi. Pengawasan pembangunan desa dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan desa yang meliputi kepala desa, aparat desa, ketua dan anggota BPD, ketua dan anggota LKMD, LPM, Badan Pengurus UPKD, Pokmas, KPMD Desa dan kader lainnya yang secara sukarela dilakukan oleh tokoh masyarakat, tokoh agama dan masyarakat umum. Pelaksanaan kegiatan pengawasan oleh masyarakat penerima hibah baik secara lisan maupun secara tertulis dalam forum pertemuan setingkat Musrenbangdes.

2.2 Kajian Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis

2.2.1 Aspek Filosofis

Untuk memperoleh hasil yang optimal dalam program pembangunan desa, maka harus mendapat dukungan dari masyarakat. Karena itu, maka proses pembangunan yang diawali dari sebuah perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi akan lebih baik apabila melibatkan masyarakat. Tuntutan ke arah itu semakin lama semakin nyaring terdengar di tengah era keterbukaan sekarang ini, dan oleh karena itu tuntutan tersebut sebaiknya disambut oleh penyelenggara pemerintahan desa dan dipayungi oleh sebuah regulasi (perdes).

2.2.2 Aspek Yuridis

Payung hukum pelaksanaan pembangunan desa adalah dengan dikeluarkannya UU no. 6/2014 Tentang Desa sebagai regulations partner dari UU no 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah mewarnai kehendak masyarakat untuk melaksanakan otonomi dalam pelaksanaan pembangunan desa dengan memperhatikan tingkat kemampuan sumber daya manusia perdesaan. Implementasi dari kehendak masyarakat tersebut sebaiknya diatur dalam sebuah regulasi dalam bentuk peraturan desa, agar masyarakat dapat dengan leluasa berpartisipasi dalam proses pembangunan dengan tidak keluar dari koridor regulasi tersebut.

2.2.3 Aspek Sosiologis

Kawasan perdesaan dengan karakter masyarakatnya yang tergolong memiliki tantangan untuk melakukan perubahan terhadap diri dan kelaurganya. Kondisi ini dapat dimaklumi mengingat bahwa sebagian besar wilayahnya memiliki struktur lahan yang kering dan keras. Kultur keras dan kering tersebut dijawab oleh masyarakat desa dengan spirit perubahan dan cenderung ingin melakukan perubahan melalui jalur pendidikan. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dengan melibatkan peran serta masyarakat secara optimal adalah salah satu bentuk kepedulian masyarakat desa untuk melakukan perubahan.

C. PROSES PEMBUATAN PERATURAN DESA

3.1 Pengertian Umum

Pengertian Peraturan Desa (Perdes) sesuai dengan ketentuan UU no 6/2014 Tentang Desa adalah peraturan desa yang dibentuk oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan persetujuan bersama Kepala Desa. Dalam ketentuan lain tentang Pemerintahan Desa, Perdes dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi desa yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri dan budaya lokal.

Muatan Perdes adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi desa dan menampung kondisi khusus desa. Rancangan Perdes dapat berasal BPD dan Kepala Desa. Program penyusunan Perdes dilakukan dalam suatu program legislasi desa, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan suatu materi Perdes. Ada beberapa jenis Perdes yang ditetapkan oleh Pemerintahan Desa antara lain: (1) Retribusi Desa, (2) Tata Kelola Kawasan Hutan Rakyat, (3) Rencana Konservasi Desa, (4) Tata Ruang Wilayah Desa, (5) Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), (6) Perangkat Desa, (7) Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan peraturan umum lainnya.
Pembentukan Perdes yang baik harus berdasarkan pada azas pembentukan peraturan perundang – undangan sebagai berikut : (a) kejelasan tujuan, (b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, (c) kesesuaian antara jenis dan materi muatan, (d) dapat dilaksanakan, (e) kedayagunaan dan kehasilgunaan, (f) kejelasan rumusan, dan (g) keterbukaan.

3.2 Tahapan Penyusunan Perdes

Secara umum, terdapat beberapa langkah yang perlu dilalui dalam menyusun suatu Perdes. Uraian dari masing-masing langkah dapat bervariasi, namun secara umum tahapan penyusunan Perdes adalah; (1) identifikasi masalah, (2) identifikasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana Perdes dapat memecahkan masalah, (3) penyusunan kajian teknis, dan (4) mengikuti prosedur penyusunan Perdes. Tahapan selanjutnya adalah penyiapan Ranperdes di lingkungan BPD, penyiapan Ranperdes di lingkungan Pemerintahan Desa, proses mendapatkan persetujuan BPD, Proses pengesahan, Lembaran Desa, dan mekanisme pengawasan Perdes.

Alur proses penyusunan Perdes dapat digambarkan sebagai berikut : (a) identifikasi isu dan masalah, (b) penyelenggaraan konsultasi masyarakat, (c) revisi rancangan Perdes apabila diperlukan, (d) melakukan konsultasi masyarakat tambahan, (e) pembahasan di BPD, (f) identifikasi legal baseline dan bagaimana Perdes baru dapat memecahkan masalah, (g) penyusunan kajian teknis, (h) penulisan Perdes, dan (i) penetapan Perdes.

3.3 Identifikasi Isu dan Masalah

Para perancang Perdes perlu membuat Perdes atas nama dan untuk kepentingan masyarakat. Langkah pertama yang harus diambil adalah mengajukan pertanyaan mengenai jenis permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Permasalahan dapat mencakup banyak hal, antara lain degradasi dan deviasi sumber daya yang mengakibatkan keresahan dan ketimpangan sosial. Selain mengidentifikasi masalah, perancang Perdes harus pula mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah (akar masalah) dan pihak – pihak yang terkena dampak dari berbagai masalah tersebut. Untuk mengidentifikasi masalah ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi misalnya dengan metode ROCCIPI (Rule, Opportunity, Capacity, Communications, Interest, Process, dan Ideology).

Rule (peraturan), yang mungkin dapat diidentifikasi adalah : susunan kata dari peraturan kurang jelas atau rancu; peraturan mungkin memberi peluang perilaku masalah; tidak menangani penyebab-penyebab dari perilaku bermasalah; memberi peluang pelaksanaan yang tidak transparan, tidak bertanggung jawa, dan tidak partisipatif; dan memberikan kewenangan yang tidak perlu kepada pejabat pelaksana dalam memutuskan apa dan bagaimana mengubah perilaku bermasalah.

Opportunity (Kesempatan), untuk mengidentifikasi apakah lingkungan di sekeliling pihak yang dituju suatu Perdes memungkinkan mereka berprilaku sebagaimana diperintahkan Perdes atau tidak?, dan apakah lingkungan tersebut membuat prilaku yang sesuai tidak mungkin terjadi?.

Capacity (Kemampuan), untuk mengidentifikasi apakah para pelaku peran memiliki kemampuan berprilaku sebagaimana ditentukan oleh peraturan yang ada, Dalam prakteknya, kesempatan dan kemampuan saling bertumpang tindih. Tidak menjadi soal kategori ROCCIPI yang mana yang mengilhami seorang penyusun Ranperdes ketika ketika merumuskan hipotesa penjelasan. Kategori – kategori ini berhasil dalam tujuannya apabila berhasil meransang para pembuat rancangan Perdes untuk mengidentifikasi penyebab dari prilaku bermasalah yang harus diubah oleh rancangan mereka.

Communications (Komunikasi), Ketidaktahuan seorang prilaku peran tentang Perdes mungkin dapat menjelaskan mengapa dia berprilaku tidak sesuai. Apakah pihak yang berwenang telah mengambil langkah – langkah yang memadai untuk mengkomunikasikan peraturan – peraturan yang ada kepada para pihak yang dituju.

Interest (Kepentingan), apakah ada kepentingan material atau non material (sosial) yang mempengaruhi pemegang peran dalam bertindak sesuai atau tidak dengan aturan yang ada.
Process (Proses), Menurut kriteria dan prosedur apakah dengan proses yang bagaimana para pelaku peran memutuskan untuk mematuhi Perdes atau tidak. Biasanya, apabila sekelompok pelaku peran terdiri dari perorangan, kategori proses menghasilkan beberapa hipotesa yang berguna untuk menjelaskan perilaku mereka. Orang – orang biasanya memutuskan sendiri apakah akan mematuhi peraturan atau tidak.

Ideology (Idiologi), apakah nilai – nilai, kebiasaan dan adat-istiadat yang ada cukup mempengaruhi pemegang peran untuk bertindak sesuai atau bertentangan dengan aturan yang ada.

Selain ROCCIPI dapat juga digunakan dua metode yang berdekatan sifat dan mekanisme kerjanya, yaitu metode Fishbone dan RIA (Regulatory Impact Assessment). Metode Fishbone bekerja dengan mnggunakan riset yang mendalam, segala hal diuji dalam sebuah diskusi yang panjang. Beberapa hal yang diuji adalah terkait dengan : Man (manusia); dilakukan pengujian bagaimana prilaku manusia (subyek hukum) melaksanakan atau bertindak sehingga timbul masalah. Money (uang/anggaran); pengujian dilakukan dengan mengidentifikasi bagaimana kedudukan anggaran dalam pelaksanaan kegiatan sehingga menimbulkan masalah; Management; dilakukan pengujian dan riset apakah pola manajerial baik dari sistem maupun subsistem dapat mendukung atau tidak terhadap aturan – aturan yang ada. Methode (metode); yang dimaksud metode disini adalah terkait dengan hubungan antara subyek hukum (pelaku) dengan obyek hukum, bagaimana model dan pola hubungannya tersusun dalam sebuah metode. Environment (lingkungan); lingkungan sangat berpengaruh terhadap hadirnya persoalan yang terjadi, lingkungan ini terkait juga pengaruh dari luar (globalisasi). Metoda Fishbone ini dilakukan jika memang analisa terhadap suatu permasalahan muncul ketika suatu peraturan akan diterapkan.

Sejalan dengan Fishbone ini, ada juga RIA yang lebih mengutamakan pemahaman terhadap segala peraturan dibalik penyusunan peraturan yang baru. RIA biasanya digunakan sebagai jaminan untuk mendukung pembangunan dan investasi. Penggunaan RIA harus dilakukan riset yang mendalam tentang mengapa Perdes harus dibuat, setelah hal tersebut terjawab apa resikonya jika Perdes tersebut dibuat. Jika hal – hal tersebut dijawab maka sebuah Perdes akan terlibat sisi baik dan buruknya jika diterapkan.

Berdasarkan berbagai metode diatas, para penyusun Perdes dapat melakukan pemilihan metode yang sesuai dengan kondisi desanya, semua perhitungan tentang metode tersebut selalu menekankan partisipasi masyarakat. Selanjutnya dari inventarisasi masalah berdasarkan pendekatan yang dikemukakan diatas, perancang Perdes hendaknya membuat skala prioritas mengenai permasalahan yang harus dipecahkan secepatnya, permasalahan yang perlu dipecahkan bersama, dan permasalahan yang bisa ditunda pemecahannya. Pembuatan skala prioritas menjadi penting adanya karena Perdes pada umumnya terbatas skalanya.

3.4 Identifikasi Dasar Hukum (Legal Baseline)

Pengertian legal baseline adalah status dari peraturan desa yang saat ini tengah berlaku. Identifikasi legal baseline mencakup inventarisasi peraturan desa yang ada dan kajian terhadap kemampuan aparatur desa dalam melaksanakan berbagai peraturan desa tersebut. Identifikasi legal baseline juga meliputi analisis terhadap pelaksanaan dan penegakan hukum dari Perdes yang ada. Melalui analisis ini, dapat diketahui bagian – bagian dari Perdes yang ada, yang telah dan belum/tidak ditegakkan.
Pemberlakuan Perdes yang baru hendaknya diupayakan dengan menggunakan cara-cara baru demi mengubah prilaku masyarakat, seperti melalui program sukarela berbasis insentif, atau pengakuan hak adat. Selain itu, apabila aparat desa tidak transparan dan tidak bertanggung gugat (akuntabel), maka sulit diharapkan bahwa pemberlakuan Perdes baru tersebut akan serta merta dilaksanakan dengan baik di kemudian hari. Maka Perdes yang baru dapat membentuk instansi independen, atau memberi otoritas dan memberdayakan organisasi non-pemerintah serta lembaga adat, untuk memastikan adanya akuntabilitas dalam pembuatan keputusan.

3.5 Penyusunan Kajian Akademis

3.5.1 Substansi Kajian

Dalam penyusunan Perdes selama ini, masih belum dilengkapi dengan kajian akademis. Agar Perdes yang disusun benar – benar dapat menjawab kebutuhan masyarakat desa dan menjawab permasalahan yang akan diatur maka penyusunan kajian akademis menjadi sangat penting. Secara substansi, kajian akademis harus menelaah tiga permasalah substansi, yaitu : (1) menjawab pertanyaan mengapa diperlukan Perdes baru, (2) lingkup materi kandungan dan komponen utama Perdes, dan (3) proses yang akan digunakan untuk menyusun dan mengesahkan Perdes.

Kajian akademis tidak harus memuat bab-bab yang terkait dengan Perdes yang diusulkan. Bentuk dan isi kajian akademis paling tidak memuat gagasan pengaturan secara holistik dan futuristik dengan memuat berbagai macam aspek keilmuan dengan dilengkapi referensi yang memuat urgensi, konsepsi, landasan, dasar hukum dan prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-norma yang dituangkan dalam bentuk pasal-pasal dengan menunjuk beberapa alternatif yang disajikan dalam bentuk uraian sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum sesuai dengan politik hukum yang telah digariskan.

3.5.2 Format Kajian

Secara khusus teknis penyusunan dan format kajian akademis untuk Perdes belum ada namun secara umum format penyusunan kajian akademis terdiri atas dua bagian, yaitu : bagian pertama berisi laporan hasil pengkajian dan penelitian tentang Rancangan Peraturan Desa. Bagian kedua berisi konsep awal rancangan Perdes yang terdiri dari pasal-pasal yang diusulkan. Format kajian akademis meliputi pendahuluan, ruang lingkup kajian akademis, dan kesimpulan dan saran.

Pendahuluan; yang berisi pokok pikiran tentang konstalasi fakta-fakta yang merupakan alasan-alasan pentingnya materi hukum yang bersangkutan tanpa diatur dan daftar Perdes yang berkaitan dan dapat dijadikan dasar hukum (Latar Belakang); Tujuan dan kegunaan yang ingin dicapai; Metode dan pendekatan; dan Pengorganisasian. Ruang Lingkup Kajian Akademis; terdiri dari ketentuan umum yang memuat istilah-istilah/pengertian yang dipakai dalam kajian akademis beserta arti dan maknanya masing-masing.

Muatan kedua adalah materi yang memuat konsepsi, pendekatan dan azas-azas dari materi hukum yang diatur serta pemikiran-pemikiran normatif yang disarankan, sedapat mungkin dengan mengemukakan beberapa alternatif. Kesimpulan dan saran; yang memuat rangkuman pokok isi kajian akademis dan luas lingkup materi yang diatur dan yang berkaitan dengan peraturan desa lainnya dan bentuk pengaturan yang dikaitkan dengan materi muatan. Saran-saran berisi apakah semua materi diatur dalam satu bentuk peraturan desa atau ada sebagian yang sebaliknya dituangkan dalam peraturan pelaksanaan atau peraturan lain. Harmonisasi dengan peraturan desa lainnya dan alasan/sebabnya.

3.5.3 Proses Penyusunan Kajian Akademis

Kajian akademik harus disusun secara cermat dan hati-hati. Pembentukan satu tim penyusun dan tim konsultasi atau pengarah harus dilakukan. Demikian pula kegiatan rembug desa (konsultasi publik) secara terus menerus harus diselenggarakan untuk merevisi konsep (draft) kajian akademik. Langkah pertama dari aparatur desa adalah membentuk satu tim penyusun yang dibentuk berdasarkan surat keputusan Kepala Desa.

Untuk peningkatan kualitas produk Perdes, diperlukan suatu proses atau prosedur penyusunan Perdes agar lebih terarah dan terkoordinasi. Hal ini disebabkan dalam pembentukan Perdes perlu adanya persiapan yang matang dan mendalam, antara lain pengetahuan mengenai materi muatan tersebut kedalam Perdes secara singkat tetapi jelas dengan bahasa yang baik serta mudah dipahami, disusun secara sistematis tanpa meninggalkan tata cara yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dalam penyusunan kalimatnya. Prosedur penyusunan ini adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum desa sejak dari perencanaan sampai dengan penetapannya.

3.6 Mekanisme Pengawasan Perdes

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa pemerintah kabupaten berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa sesuai amanat UU no 6/2014 dan UU no 32/2004 dan PP no 79/2005. Pembinaan dan pengawasan dimaksudkan agar kewenangan desa dalam menyelenggarakan otonomi desa tidak mengarah kepada kedaulatan. Disamping pemerintah desa merupakan subsistem dalam penyelenggaraan pemerintahan kabupaten.
Pemerintah kabupaten memiliki kewenangan kepada pemerintahan desa untuk melakukan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan desa, kepala SKPD melakukan pembinaan sesuai dengan kewenangannya yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan pengawasan yang dikoordinasikan kepada Bupati.

Pengawasan dilakukan secara refresif dengan memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintahan desa untuk menetapkan Perdes baik yang bersifat limitatif maupun Perdes lain berdasarkan kriteria yang ditetapkan pemerintah. Karena Perdes tidak disertai dengan sanksi, peluang ini dimanfaatkan oleh pemerintahan desa untuk menetapkan Perdes yang berkaitan dengan retribusi yang membebani masyarakat dan tidak dilaporkan kepada pemerintah kabupaten.

D. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penyusunan Perdes merupakan salah satu bentuk pelaksanaan pembangunan partisipatif di perdesaan. Proses – proses penyusunan Perdes memberikan ruang kepada masyarakat desa untuk terlibat secara aktif sebagai pelaku penyusunan Perdes. Model – model identifikasi masalah seperti ROCCIPI, Fishbone dan RIA yang dikembangkan dalam penyusunan suatu Perdes memberikan ruang seluas – luasnya bagi masyarakat untuk dapat berperan serta dalam penyusunan muatan Perdes.

Dimulai dari model perencanaan pembangunan partisipatif dalam perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdes) mengindikasikan bahwa penyusunan Perda partisiptif sudah dimulai sejak perencanaan pembangunan desa disusun oleh pemerintahan desa bersama masyarakatnya. Musrenbangdes memberikan jaminan bahwa dalam rencana pembangunan desa tersebut aspirasi dan kebutuhan masyarakat sudah terakomodir dan Perdes hanyalah bentuk legal formal untuk memperkuat legitimasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan sebagai implementasi dari perencaan pembangunan desa yang telah disusun secara partisipatif.

Perdes adalah suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang disusun oleh masyarakat desa, walaupun tidak termuat sanksi-sanksi terhadap pelanggaran Perdes, akan tetapi karena Perdes disusun secara partisipatif melalui kajian-kajian akademis akan dapat menjawab permasalahan yang berkembang di masyarakat. Sehingga Perdes dapat menjadi payung hukum pelaksanaan pembangunan desa.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Perdes adalah bentuk pelaksanaan tata kelola pemerintahan desa yang dimulai dari proses perencaan partisipatif sampai pada pengawasan pelaksanaan Perdes. Pelaksanaan Perdes yang baik akan memberikan dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sistem administrasi pelayanan publik yang tepat, cepat dan efektif. Walaupun Perdes sifatnya limitid terhadap ruang lingkup pengaturan, namun penetapan skala prioritas membuat perdes akan dapat menjawab kebutuhan masyarakat.

Secara umum langkah – langkah dalam proses penyusunan peraturan desa baru adalah sebagai berikut :
(1) Langkah 1 : Identifikasi Masalah
(2) Langkah 2 : identifikasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana peraturan desa baru dapat memecahkan masalah,
(3) Langkah 3 : penyusunan kajian akademis
(4) Langkah 4 : prosedur penyusunan perdes : (a) proses penyiapan Ranperdes di BPD dan (b) proses penyiapan Ranperdes di Pemerintahan Desa, (c) proses mendapatkan persetujuan BPD, (f) proses pengesahan dan penetapan sebagai lembaran desa.
(5) Langkah 5 : mekanisme pengawasan Perdes.

Dengan demikian Perdes adalah peraturan awig-awig desa yang dibentuk bersama oleh Badan Permusyawaratan Desa dengan Kepala Desa di desa dalam rangka penyelenggaraan otonomi desa, dapat bersifat penjabaran dari peraturan daerah atau perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas desa. Perdes juga dapat berasal dari inisiatif masyarakat untuk memunculkan nilai-nilai adat dan tradisi yang berkembang secara turun temurun.

4.1 Saran – Saran

Pemerintahan desa dalam merancang dan membuat peraturan desa hendaknya memperhatikan azas-azas pembuatan Perdes yang baik, serta sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Peraturan Desa dapat dibuat untuk menciptakan suasana pemerintahan desa yang baik dan teratur, bukan malah membuat masalah baru dalam masyarakat. Untuk itu keprofesionalan dan kearifan pemerintahan desa sangatlah dibutuhkan.

Untuk memastikan legalitas dari sebuah program pembangunan desa maka pembuatan payung hukum (awig-awig desa) hendaknya diperhatikan oleh pemerintahan desa untuk dibuat sesuai dengan urgensi program. Untuk memotivasi penyelenggaraan Perdes yang baik maka individu dan kelompok masyarakat dapat diberikan reward ketika dalam muatan Perdes tidak memungkinkan untuk diberikan sangsi-sangsi jika Perdes ini tidak dijalankan (Jumangse & AQ. Seruni).

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2015, Tutur Pengalaman Dari Desa, SAPA, Lesa Demarkasi dan The Fourd Foundations. Praya.

Bakti Nusawan, 2015, Petunjuk Teknis dan Metode Penyusunan Peraturan Daerah. IDPim, WISMP II, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Anonimous, 2014, Draft Kajian Akademis Peraturan Daerah Pembangunan Partisipatif Kabupaten Lombok Tengah, Praya, NTB

Rochdyanto, 2006, Pengenalan Metode Pemberdayaan Masyarakat, SKEPHI dan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri, Jakarta.

Suryana dan Marzuki, 2007, Iklim Investasi Daerah, Konrad-Adenauer-Stiftung e.V. dan GTZ-RED Jakarta, Indonesia.

Zaini dan Taqiuddin, 2014, Program Penanggulangan Kemiskinan Bukan Sekedar Bussiness As Usual, Bakti News, Edisi No. 107 November – Desember 2014.