Monthly Archives: Juli 2016

ISLAM DAN BUDAYA PUJUT, Pelangi Di Selatan Lombok

masjid 3

Sasaqgagah – Pujut merupakan wilayah di bagian selatan Kabupaten Lombok Tengah yang memiliki catatan historis terhadap perkembangan peradaban, politik, dan budaya di Pulau Lombok dan nusantara. Pujut berasal dari bahasa sansekerta yang berarti “Puji” yang bermakna pengakuan kepada sang maka pencipta alam semesta. Berangkat dari kata Puji ini maka Pujut yang secara bentang alam memiliki topografi yang indah dan eksotis menjadi tempat yang sempurna bagi para pencari hakekat sejati (tasawuf). Dalam sejarahnya Pujut merupakan wilayah yang banyak didatangi oleh para sufi untuk mendekatkan diri dengan Sang Khalik.

Wilayah Pujut memiliki sejarah peradaban yang tinggi dengan ditemukannya situs Gunung Piring yang berada di Desa Mertak Kecamatan Pujut. Pada zaman pra-sejarah wilayah Pujut merupakan wilayah yang sudah memiliki peradaban dengan diremukannya alat-alat dari perunggu dan gerabah. Selain itu juga berkembangnya kesusasteraan antaranya epos Mandalika dan cerita-cerita rakyat lainnya.
Untuk menelusuri perjalanan masuknya ajaran islam di Pujut pada kondisi minimnya referensi yang bersumber dari tulisan-tulisan sejarah, penulis mencoba melakukan penelusuran terhadap prilaku penyelenggaraan ajaran islam oleh masyarakat Pujut sekarang ini, selain itu juga melakukan nalar analisis terhadap peninggalan agama islam di Pujut.

Peninggalan islam yang sampai sekarang masih terpelihara dengan rapi di Pujut adalah Masjid Kuno Gunung Pujut, Masjis Kuno Rembitan, Maqom Wali Nyatuk, Kerbau Sebute, dan Kitab-Kitab Thareqat Macapat Lontar (Langit Gite, Jatisware, Brambang Wulung, dll). Dari bukti peninggalan Islam ini, maka penulis berpendapat bahwa ajaran Islam yang berkembang di Pujut pada awalnya adalah ajaran yang dikembangkan oleh Sunan Kalijaga di tanah Jawa. Pendapat ini didasari oleh hasil pengamatan penulis terhadap pelaksanaan ajaran Islam di masyarakat. Beberapa catatan penting hasil pengamatan penulis disampaikan di bawah ini.

Sinkretisme Budaya dan Agama

Sinkretisme antara budaya masyarakat Pujut kuno dengan ajaran Islam masih kental terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat. Sinkretisme ini sendiri pernah menjadi perdebatan antara Sunan Bonang dengan Sunan Kalijaga. Perdebatan itu muncul ketika Sunan Bonang berkeinginan untuk melaksanakan syariat Islam secara murni, namun Sunan Kalijaga berpendapat lain bahwa sinkretisme itu perlu saat ini karena menghilangkan budaya secara langsung justru akan mendapatkan perlawanan dari masyarakat Jawa yang baru memeluk agama Islam namun menurut Sunan Kalijaga budaya tersebut perlu di islamkan sampai suatu saat akan datang suatu generasi yang akan merubahnya.

Bentuk sinkretisme antara budaya dan ajaran agama Islam yang penulis temui di masyarakat Pujut adalah : (1) acara “Nelung, Mituk, Nyiwak, Nyatus, dan nyeribu” (penyelenggaraan hari ke tiga, ke tujuh, ke sembilan, ke seratus, dan ke seribu setelah hari kematian), biasanya bagi keluarga yang mampu pada penyelenggaraan hari ke-sembilan akan memotong hewan ternak baik Sapi atau Kerbau. (2) Acara “Roah Bubur Beak dan Bubur Putik” (penyelenggaraan acara ritual bubur merah dan bubur putih), (3) Membuat “Pesaji” (membawa makanan dan minuman pada acara ziarah kubur dan makanan tersebut akan dimakan secara ramai-ramai setelah melakukan dzikir kubur), (4) Membawa “Dupe” pada saat acara pemakanan jenazah (Dupe = kemenyan yang dibakar dalam wadah tembikar tanah/Dulang), (5) Acara “Ngurisan” yaitu memotong rambut bayi yang disertai dengan acara serakal (pembacaan barjanzi dan salawat), dan (6) Acara “lebaran Topat”, yang diselenggarakan setelah 7 hari hari raya Idul Fitri atau setelah puasa syawal.

Serat Menak

Serat menak adalah lakon Wayang Purwa yang digunakan sebagai salah satu media dakwah yang digunakan oleh mubaligh dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam di Pujut. Serat Menak menceritakan tentang perjalanan dakwah Wong Menak (Jayengrana) dari negeri mekah. Lakon-laokn (sasak = kelampan) dalam serat menak menggambarkan tentang metode dakwah melalui pendekatan perang (jihad), perkawinan, dan perdamaian. Pendekatan ini juga banyak dipakai oleh para Waliyullah dalam menyebarkan ajaran Islam dimana penyebaran Islam lebih dominan dilakukan dengan melakukan perkawinan dengan para puteri raja. Di Pujut pendekatan ini juga banyak dilakukan dimana para Kyai menikahi puteri dari tokoh-tokoh masyarakat setempat.

Metode dakwah dengan menggunakan media Wayang Kulit Purwa adalah metode dakwah yang dikembangkan oleh Waliyullah Sunan Kalijaga dengan menggubah Serat Menak. Metode dakwah Wayang Kulit Purwa sampai saat ini masih berkembang dengan baik di Pujut dan tetap dilestarikan sebagai warisan dari para waliyullah penyebar agama Islam.

Ajaran Hidup Masyarakat Pujut

Masyarakat Pujut memiliki pertalian budaya dan bahasa yang serumpun dengan suku Sunda di Jawa Barat. Pertalian budaya dan bahasa ini juga mendekatkan ajaran ketuhanan yang sama, pada mulanya sebelum ajaran Islam masuk di Pujut masyarakat meyakini dan menjalankan suatu ajaran ketuhanan yang disebut sebagai ajaran Jatisunda. Kesamaan kepercayaan kepada tuhan, budaya, rumpun bahasa dan tatanan sosial Austronesia Melayu – Polinesia, barangkali menjadi alasan bagi Gajah Mada dari Majapahit untuk menyebut Pulau Lombok sebagai Sunda Kecil.

Setelah masuknya Islam di Pujut maka ajaran kepercayaan Jatisunda sebagai pondasi dasar ajaran hidup masyarakat mengalami evolusi kepada pondasi ajaran tauhidiyah islamiyah yang diajarkan oleh para Waliyullah. Melihat prinsip hidup dan laku hidup para Kyai Sepuh (ahli agama) yang ada dalam masyarakat Pujut, maka dapat kita temukan ajaran hidup yang dilaksanakan adalah lima ajaran hidup yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga.

Ajaran hidup tersebut adalah sebagai berikut : (1) Marsudi Ajining Sarira, yaitu suatu sikap hidup untuk menghargai diri sendiri sebelum menghargai orang lain. Penerapan ajaran hidup ini dilakukan dengan menjauhi perbuatan yang dapat merusak tubuh yang dalam istilah Sunan Kalijaga di sebut “Molimo” ( Mabuk, Madat, Maling, Madon/Berzina, Main/Judi), (2) Manembah, yaitu perbuatan menyembah kepada Allah SWT yang dimplementasikan dalam perbuatan sholat syari’at dan sholat daim, (3) Mangabdi. Yaitu prilaku mengabdi kepada orang tua, keluarga, masyarakat, desa dan negara. Mengabdi juga bentuk penyerahan diri atau ridho atas kehendak Allah SWT, (4) Maguru, yaitu suatu sikap untuk selalu menuntut ilmu baik ilmu pengetahuan maupun ilmu agama, dan (5) Martapa, yaitu suatu sikap pendekatan diri kepada Allah SWT. Dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT cara yang umum dilakukan adalah berkhalwat (menyepi) dan dzikir makrifat. Martapa adalah perjalanan (thareqat) untuk mencari guru sejati dan rasa sejati pada tujuh lathoif.

Masjid Kuno Gunung Pujut dan Rembitan

Masjid kuno Gunung Pujut dan Masjid Rembitan adalah peninggalan sejarah Islam yang menyimpan pesan spiritual yang tinggi. Selain dijadikan sebagai tempat ibadah kedua masjid ini juga memberikan pembelajaran hakekat yang tinggi. Diyakini masjid Pujut dan Rembitan dibangun oleh Waliyullah penyebar agama Islam di Pujut dan Lombok umumnya. Berdasarkan bentuk arsitekturnya masjid Pujut dan Rembitan bercirikan bangunan Jawa dengan atap seperti atap masjid Demak. Masjid tidak memiliki jendela dan hanya memiliki satu pintu yang berukuran rendah, sehingga untuk memasuki masjid harus sambil merunduk. Bentuk pintu ini merupkan simbul – simbul ilmu hakekat penghambaan manusia kepada Allah SWT. Dari bentuk ini maka dapat disimpulkan bahwa masjid Gunung Pujut dan masjid Rembitan didirikan oleh ulama tasawuf atau ahli sufi yang telah mencapai maqom makrifat.

Balok Tui

Berbicara tentang penyebaran Islam di Pujut maka tidak lepas dari tokoh spiritualis yang menjadi legenda tokoh penyebar Islam yaitu “Balok Tui”. Nama tokoh ini sangat erat dan akrab dengan masyarakat Pujut dari dulu sampai sekarang. Balok Tui adalah salah seorang putera dari Datu Pujut yang menjadi murid utama dari Wali Yatok seorang mubaligh penyebar agama Islam yang masih samar jatidirinya. Balok Tui dalam dakwahnya menggunakan cara pendekatan pengajaran dari rumah ke rumah (sasak = Ngamarin). Ngamarin dilakukan sambil menggembala Kerbau, dan Kerbau tersebut sampai sekarang masih ada yang oleh masyarakat Pujut disebut “Kuwao Sebute” (Kuwao = Kerbau).

Dakwah ngamarin merupakan cara dakwah yang dikembangkan oleh Sunan Kalijaga sebagaimana disebut dalam tembang lir ilir nya : “…. cah angon – cah angon penekno belimbing kui, lunyu-lunyu penekno, kanggo mbasuh dodo tiro….” . Pesan yang disampikan dalam tembang tersebut adalah bahwa mubaligh itu tidak ubahnya seperti penggembala yang menggembalakan hati masyarakat yang perlu dibersihkan dengan rukun Islam yang dipersonifikasikan seperti belimbing buah yang memiliki lima segi. Dalam proses ngamarin tersebut maka disetiap kampung besar dapat terbentuk kader mubaligh baru yang disebut “Kyai Gubuk” (gubuk = Desa/Kampung). Kyai Gubuk inilah yang selanjutnya bertugas untuk mengayom dan membimbing masyarakat dalam penyelenggaraan syariat Islam sehari-hari.

Untuk dapat menjadi Kyai Gubuk maka harus memiliki keluasan ilmu dunia dan agama, antaranya adalah ilmu pengobatan, ilmu pertanian, ilmu bintang (rowot sasak), dan ilmu hakekat. Pada umumnya Kyai Gubuk ini selain ilmu syraiat juga telah menguasai ilmu tauhid seperti sifat 20 (masaillah), perukunan 13 (telu olas), dan penguasaan terhadap Kitab Ihya’ulumuddin yang dalam masyarakat Pujut menyebutnya sebagai Kitab Belik (Belik = Besar).

Dalam kehidupan sosil masyarakat Pujut, Kyai Gubuk berperan besar dalam memimpin penyelenggaraan kegiatan keagamaan antaranya adalah : (1) menyembelih ternak, untuk memastikan agar ternak yang telah disembelih dapat dipertanggung jawabkan kadar halalnya, (2) memimpin penguburan jenazah dengan membaca dzikir dan talqin, (3) memimpin kegiatan dzikir dan syarakal pada acara-acara roah (roah = kenduren), dan (4) menjadi imam sholat wajib, jum’at, tarawih, dan sholat Ied.

Catatan akhir

Dari catatan tersebut diatas, maka pengaruh ajaran Sunan Kalijaga dalam penyebaran Islam di Pujut sangat kental. Walaupun tidak ada catatan sejarah tentang kedatangan Sunan Kalijaga di Lombok, namun dari cerita yang berkembang di masyarakat diyakini bahwa Sunan Kalijaga telah datang ke Lombok. Bukti untuk membenarkan pendapat tersebut adalah dengan ditemukannya Batu Bertuliskan “Saya Ada Tetapi Tidak Ada, Jangan Dicari” di Desa Beleke Kecamatan Praya Timur. Batu tersebut ditulis menggunakan ujung ibu jari kaki. Diatas batu tersebut konon ditaruh sebuah kitab makrifat yang ditulis pada daun lontar yang diyakini oleh masyarakat dulunya pernah dipegang oleh almarhum TGH. Muttawalli dari Jerowaru Lombok Timur.

Perjalanan Islam di Pujut seperti pelangi yang penuh warna dan memberikan kesejukan bagi yang memandangnya. Keindahakan cara dan prilaku penyelenggaraan syariat Islam lambat laun akan terkikis oleh sinar matahari peradaban dan teknologi yang semakin panas seiring perjalanan waktu. Perjalanan para waliyullah dan Kyai Gubuk dalam menjalankan dakwah pada kondisi masyarakat yang tergenggam oleh budaya yang mengakar kuat memberikan cara pendekatan yang eksotik, bernilai seni tinggi dan selaras alam.

Pujut kini dalam Islam yang semakin penuh warna dari gradasi warna dasar pelangi syariat, thareqat, hakekat dan makrifat. Masyarakat Pujut telah menjelma menjadi kemajemukan dalam bingkai organisasi Islam yang tumbuh dan berkembang penuh warna menjadi Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Nahdatul Wathan, Khadiriyah Wa Naksabandiyah, Salafiyah, Wahabi, dan Jemaah Tablik. (AQS)