Monthly Archives: November 2015

DOKUMENTASI PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) RINJANI LOMBOK TENGAH

potrek salah satu sudut HKm di KHPL Rinjani

potrek salah satu sudut HKm di KHPL Rinjani

sasaQgagah – Laju deforestasi di Indonesia menurut catatan World Bank pada tahun 2007 menempatkannya sebagai negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia dan negara emitor ketiga setelah USA dan China (Huma, 2015). Laju kehilangan hutan semakin meningkat. Pada tahun 1980-an laju kehilangan hutan di Indonesia rata-rata sekitar 1 juta ha per tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha per tahun pada tahun-tahun pertama 1990-an. Sejak tahun 1996, laju deforestasi tampaknya meningkat lagi menjadi rata-rata 2 juta ha per tahun (FWI/GFW, 2011).

Deforestasi di KPHL Rinjani disebabkan oleh kemiskinan masyarakat yang yang tinggal dipinggir hutan yang hidupnya bergantung dari hasil hutan. Terdapat 3.027 KK masyarakat ini menggantungkan hidupnya dengan strategi subsisten-tradisional dengan mengandalkan hasil hutan dan bahan pangan pokok yang terdapat dalam hutan. Pengelolaan KPHL Rinjani sudah dimulai sejak Pemerintahan Hindia Belanda, dalam perkembangan selanjutnya 351, 143 Hektar diberikan Hak Van Erfpacht menjadi kebun kopi, dan selanjutnya dalam KPHL Rinjani juga diberikan izin Hutan Kemasyarakatan (HKm) 1.809.5 Hektar.

KPHL Rinjani

Pada awalnya KPHL Rinjani merupakan hutan tutupan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda Nomor 1 sub 1, tanggal 9 September 1929. Secara definitif, kawasan hutan diukur/ditata batas seluas 118.950 Hektar dengan berita acara yang disahkan tanggal 4 Juli 1941. Pada tahun yang sama, kawasan hutan ditetapkan sebagai hutan suaka margasatwa seluas 41.330 hektar dan sisanya sebagai hutan lindung berdasarkan keputusan Gubernur Hindia Belanda GB No. 15, STB. No. 77 tanggal 17 Maret 1941. Pada 1954, berdasarkan Keputusan Dewan Pemerintah Daerah Lombok No.433/Agr.1/6 497 tanggal 12 Oktober 1954, kawasan hutan diserahkan kepada kantor kehutanan. Selanjutnya pada 1982, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.756/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982 tentang Penunjukan Areal Hutan diwilayah Propinsi Dati I NTB seluas 1.063.273.20 Hektar sebagai kawasan hutan. Penunjukan itu termasuk wilayah hutan Rinjani (RKT 1 Rinjani), termasuk kawasan hutan Rinjani.
Pada tahun 1978, dilakukan penetapan batas sebagai bukti kawasan hutan di lapangan ditandai dengan pembuatan pal batas luar dengan inisial hurup “B”. Luas kawasan hutan gunung Rinjani mencapai 125.740 Hektar atau sekitar 26,50% dari daratan Pulau Lombok. Kawasan Hutan Gunung Rinjani terdiri dari beberapa status fungsi kawasan hutan di antaranya: a) taman Nasional seluas 41.330 Hektar, b) hutan Lindung seluas 48.345 Hektar, c) hutan Produksi Tetap seluas 22.975 Hektar, d) hutan Produksi terbatas seluas 9.935 Hektar, e) taman Hutan Raya seluas 3.155 Hektar.

Dan pada 1990, kawasan hutan margasatwa yang ditetapkan tahun 1941 diubah statusnya sebagai Taman Nasional Gunung Rinjani seluas 41.330 Hektar dengan Keputusan Menteri Kehutanan No.448/Menhut-VI/1990, tanggal 6 Maret 1990. Penetapan definitif Taman Nasional baru dilakukan pada 23 Mei 1997 berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia No. 280/Kpts-II/1997. Sementara Hutan Lindung dan Hutan Produksi di kawasan gunung Rinjani seluas 81.255 ha yang penetapannya berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 418/Kpts-II/1999, tanggal 15 Juni 1999.

HGU Kebun Kopi Batukliang

Kebun Kopi Batukliang melekat dalam Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), berdiri berdasarkan Racht Van Erfpacht tanggal 2 Maret 1929 Nomor A.6-9-2 atas nama Tjan Kim Bie, versi PT.Tresno Kenangan dalam pembelaan di PTUN, pemegang hak Van Erfpacht adalah The Kok Tie. Pada tanggal 6 Februari 1945, Tjan Kim Bie meninggal dunia dan hak Erfpacht dilimpahkan ke Han Lie Khan Nio (istri) dan Tjan Siang Hian (anak kandung ). Masing-masing mendapatkan setengah bagian, berdasarkan akte Van Erfachrt nomor 5, tanggal 30 Januari 1952 yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan di Singaraja Bali. Van Erfachrt perponding nomor 16 (berkas) telah dikonversi menjadi Hak Guna Usaha selama waktu 20 tahun sesuai dengan Surat Keterangan Kantor Pendaftaran dan Pengawasan Pendaftaran Tanah Mataram Dirjen Agraria dan Transmigrasi atas nama Han Lie Kan Nio dan Tjan Siang Hian Nomor 333-1966 tanggal 14 Desember 1966.

Berdasarkan berlakunya UUPA nomor 5 tahun 1960, maka HGU berakhir pada tanggal 24 September 1980. Berdasarkan konversi menjadi HGU sesuai nomor 333-1966 tanggal 14 Desember 1966, maka HGU berakhir pada tanggal 14 Desember 1986. Berdasarkan point A diatas, maka pihak PT.Trisno Kenangan telah mengajukan HGU pada tanggal 22 Desember 1979 dikirim ke Agraria NTB, oleh Agraria NTB dikirim ke Mendagri Cq.Dirjen Agraria tanggal 9 Juli 1980, dengan nomor surat pengantar nomor: 593.41-47. Pengajuan perpanjangan HGU tidak dapat dipenuhi oleh Agraria Jakarta, karena Akte PT. Trisno Kenangan yang dirikan pada tanggal 5 Maret 1979 belum mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman RI di Jakarta.

Pengesahan dari Menteri Kehakiman RI baru diperoleh pada tahun 1993, sesuai SK Menteri Kehakiman RI Nomor : C2-2173.HT.01.Tahun 1993 yaitu pada tanggal 19 April 1993. Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah berinisiatif untuk meminta PT Tresno Kenangan berdasarkan Surat Bupati Nomor 506-22-Hutbun, tertanggal 15 Juli 2004, dengan segera supaya mengurus izin perpajangan yang yang telah habis masa berlakunya tahun 1992. Karena sampai tahun 2008 PT. Tresno Kenanga belum mendapatkan perpanjangan HGU dan IUP, akhirnya Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah mengeluarkan SK Bupati nomor: 1443 Tahun 2008, hingga penetapan status Kebun Kopi di Desa Lantan dengan surat Bupati Nomor: 525.27-672-Hutbun, perihal perintah pengosongan kebun kopi.

Hutan Kemasyarakatan (HKm) Tastura

Dalam TNGR terdapat HKm dengan luas pencadangan 1.809,5 Ha dan Luas pemanfaatan 1.635,2 Ha. Jumlah pengelola/pemegang ijin usaha hutan kemasyarakatan (IUP HKm) sebanyak 4 dengan kelompok sejumlah 105 kelompok. Jumlah masyarakat yang menjadi kelompok tani HKM sejumlah 3.027 orang.

Payung hukum keberadaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di KPHL Rinjani Kabupaten Tengah adalah berdasarkan ; 1) Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, 2) Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, 3) Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor 37 Tahun 2007 Tanggal 7 September 2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan, 4) Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 436/Menhut-II/07 Tanggal 11 Desember 2007 Tentang Penetapan Areal Kerja HKm di Kabupaten Lombok Tengah Propinsi Nusa Tenggara Barat, 5) Peraturan Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor P.07/V-SET/2009 Tentang Tata Cara Penyeleanggaraan Hutan Kemasyarakatan, 6) Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor 4 Tahun 2009 Tanggal 6 Juni 2009 Tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan.

Hak Kelola Masyarakat

Masyrakat yang berada di KPHL Rinjani sudah ada jauh sebelum regulasi tentang kehutanan ada. Hutan merupakan ruang eksistensi masyarakat secara ekonomi, budaya, dan sosial politik. Di Indonesia, hampir seluruh hutan adalah milik negara dan secara administrasi lahan-lahan hutan ini dipetakan secara akurat oleh Pemerintah berdasarkan penggunaan dan fungsinya. Departemen Kehutanan bertanggung jawab atas kawasan hutan yang berstatus hutan permanen, yaitu, hutan-hutan yang telah dialokasikan sebagai hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas atau hutan produksi (FWI/GFW, 2015).

Selama ini status hutan sebagai milik negara dipandang sebagai hukum positif, sementara dalam Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa penguasaan atas hutan oleh negara mengandung makna bahwa negara hanya mengelola untuk dipergunakan bagi kemakmuran rakyat. Untuk itu maka negara harus melihat bahwa hutan dan keanekaragaman hayatinya adalah juga hak ulayat masyarakat yang sudah dalam rentang sejarah yang panjang menempatkan hutan sebagai ruang budaya. Masyarakat memiliki klaim tenurial berdasar hukum dan aturan setempat yang telah disepakati bersama, diatas peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Renstra 2010-2014, Kemenhut merencanakan kehutanan masyarakat seluas 7.9 juta ha (diluar skema kemitraan) dan sudah mencadangkan seluas 1.210.815 Hektar. Dari areal yang dicadangkan, sekitar 50% dalam tahap proses verifikasi dan baru sekitar 131.209.34 (1,66%) yang telah diberikan ijin oleh Bupati/Gubernur sejak diterbitkan SK Menhut tentang Hutan Kemasyarakatan (2007), Hutan Tanaman Rakyat (2007) dan Hutan Desa (2008) (Huma, 2015). Barangkali kebijakan ini sebagai bentuk pengakuan pemerintah terhadap hak kelola masyarakat.

Dalam konsepsi hak kelola masyarakat di KPHL Rinjani, konsesi HKm barangkali belum cukup untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan ruang hutan untuk hidup, tetapi masyarakat membutuhkan hak kelola yang lebih luas dalam bentuk pengakuan akan hutan adat. Situs sejarah Batukliang menunjukkan bahwa dalam kawasan RKT 1 Rinjani terdapat situs bersejarah antaranya situs Batu Benciwe dan Makam Janggut di desa Aik Berik. Fakta sejarah menunjukkan bahwa dalam KPHL Rinjani dahulunya merupakan hutan adat yang berkaitan erat dengan budaya masyarakat setempat.

amaq seruni

Bahan Bacaan :
Working Group Tenure, Resolusi Konflik di KPH (Pembelajaran Dari KPH Register 47 & Rinjani Barat), 2012, Bogor – Indonesia.
FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor , Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch

Anggrek Dapat Tumbuh Di Kawasan Wisata Air Terjun Benang Stokel dan Benang Kelambu

DSCF1536

sasaQgagah – Air terjun Benang Kelambu dan Benang Stokel dikenal luas sebagai destinasi ekowisata yang indah. Air yang jatuh bagaikan gumpalan benang dan seperti tirai yang putih menutup tabir jendela tebing. Air terjun ini berada di kaki gunung Rinjani atau didalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Rinjani.  Kawasan TWA Gunung Rinjani memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi terdiri dari berbagai jenis flora dan fauna.

Mungkin karena penataan kawasan wisata yang kurang maksimal menyebabkan lambat laun air terjun Benang Stokel dan Benang Kelambu akan kehilangan pesonanya. Keanekaragaman hayatinya mulai mengalami degradasi karena aktivitas pengelolaan hutan kemasyarakatan yang berorientasi ekonomi tanpa mengindahkan azas-azas kelestarian. Mengembalikan kawasan ekowisata ini menjadi lebih kreatif dan menyenangkan hati wisatawan mancanegara dan lokal yang kerap berkunjung ke air terjun ini, barang dapat dilakukan dengan mengajak masyarakat agar tetap menjaga fungsi lestari kawasan.

DSCF1533

Pak Marwi, penggerak petani HKm seperti juga sebagian masyarakat desa Aik Berik Kecamatan Batukliang Utara Kabupaten Lombok Tengah berangan-angan untuk melihat kawasan ini bisa tertata lebih baik. Penataan yang sesuai dengan tata ruang konsep ekowisata atau wanawisata yang tidak hanya menyajikan keindahan air terjun tetapi keindahan alam sekitar. Kelihatannya penataan ekowisata air terjun Benang Stokel dan benang kelambu yang asal-asalan menimbulkan kekhawatiran banyak pihak akan kelestarian lokasi wisata ini.

DSCF1534

Pak Marwi berpikir lain dengan mencoba menggagas budidaya Anggrek di lokasi ini dengan harapan tanaman Anggrek akan muncul sebagai daya tarik tersendiri bagi lokasi wisata ini. Memulai dengan uji coba kecil-kecilan di rumahnya Pak Marwi meyakini suatu saat Anggrek akan menjadi salah satu ciri khas kawasan wisata Benang Stokel dan Benang Kelambu. Upaya ini patut untuk didukung terutama oleh pemerintah daerah untuk mendukung gairah wisata yang berbasis peran serta masyarakat kawasan. Anggrek ternyata bisa tumbuh baik di sini  apalagi  bisa dikelola dengan baik seperti Bantimurung dengan taman kupu-kupunya.

amaqseruni.