Latar Belakang
Lahan pertanian terdiri atas lahan sawah dan kebun sebagai lingkungan buatan pada kawasan perdesaan. Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk menanam padi sawah, baik secara terus menerus sepanjang tahun maupun pergiliran dengan tanaman palawija (Sarwono dan Luthfi, 2005). Keberadaan tanah sawah sebagai sumber daya alam dalam memproduksi beras menjadi sangat penting bagi suatu daerah. Saat ini keberadaan tanah sawah beririgasi terancam oleh adanya konversi tanah sawah ke non-pertanian terutama untuk kawasan industri dan perluasan kota yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan data RTRW Kabupaten kota alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian telah mencapai 1,4 – 1,5% atau 3,09 juta hektar dari 7,8 juta hektar (BPS, 2014).
Tanah sebagai salah satu unsur ruang, dalam UUD’ 45 digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penjabaran amanat konstitusi tersebut dimuat dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) maupun dalam UU Nomor 24/1992, yaitu bahwa tanah harus berfungsi sosial dan dalam pemanfaatannya harus memperhatikan kepentingan masyarakat ekonomi lemah. Dalam Pasal 6 UUPA dinyatakan bahwa semua hak atas mempunyai fungsi sosial, yang berarti bahwa hak atas tanah disamping memberikan wewenang kepada pemegang haknya (yang empunya hak) untuk emnggunakan tanah juga membebankan kewajiban-kewajiban tertentu antaranya memelihara dan menambah kesuburan dan mencegah kerusakan sehingga tanah dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. Mencegah kerusakan tanah dapat dilakukan dengan cara konservasi dan mencegah alih fungsi lahan untuk pertambangan dan galian C.
Kebutuhan akan tanah atas permintaan tanah untuk keperluan pembangunan berbagai sektor kegiatan terus mengalami peningkatan seiring dengan lajunya pembangunan dan pertambahan penduduk, Apabila tidak ada campur tangan pemerintah maka akan terjadi permasalahan pada penguasaan dan pemanfaatannya. Agar supaya penyediaan tanah untuk pembangunan benar-benar sesuai dengan yang dibutuhkan, maka pelaksanaan pengadaannya ditempuh melalui prosedur perizinan lokasi (Sastrowihardjo, 1995). Prosedur izin lokasi telah disempurnakan berdasarkan Pakto-23 berupa Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 22 Tahun 1993. Berdasarkan kebijakan Pakto-23 tersebut, izin lokasi diberikan oleh Kepala Kantor Pertanahan Daerah Tingkat II.
Pendekatan Teoritis
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah perubahan fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi bukan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara.
Terjadinya alih fungsi lahan pertanian beririgasi akan menjadi permasalahan utama dalam mencapai kemandirian pangan nasional ditengah permasalahan ketahanan pangan dalam negeri antaranya adalah naiknya nilai import pangan nasional, tahun 2003 nilai import pangan US$ 713.233 juta naik menjadi US$ 2.173 Milyar dan menurunnya stok pangan nasional setiap tahunnya, tahun 2013 stok pangan 7,4 juta ton, 2014 turun menjadi 6,5 juta ton dan tahun 2015 menjadi 5,2 juta ton. Pemerintah untuk mencapai swasermbada pangan nasional telah memprogramkan; 1) membangun infastruktur dasar sektor pertanian (waduk, bendungan, irigasi), 2) Ekstensifikasi melalui pencetakan sawah baru 40.000 hektar, dan 3) Intensifikasi pertanian untuk menaikkan produksi 5 ton GKG per hektar menjadi 5,6 ton GKG dan produktivitas Jagung dari 4,8 ton KP per hektar menjadi 5,6 KP per hektar. Program ini harus didukung oleh ketersediaan lahan pertanian yang cukup dan tidak mengalami alih fungsi lahan yang tinggi.
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralih fungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi dan sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju.
Alih fungsi lahan dapat terjadi terjadi secara sistematis yairu konversi lahan pertanian menjadi kawasan Industri, kawasan pemukiman (real estate), jalan raya, kompleks perkantoran, Bandara. Pola sistematis ini membutuhkan hamparan lahan yang cukup luas dan terkonsolidasi. Dan alih fungsi lahan secara sporadis yaitu alih fungsi yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan secara sporadis, alih fungsi lahan dilakukan oleh orang lain akbiat terjadi jual beli, dan oleh pemilik lahan sendiri untuk pembangunan rumah. Alih fungsi lahan dipengaruhi oleh faktor-faktor kependudukan, kebutuhan lahan untuk non-pertanian, ekonomi, sosial budaya, degradasi lingkungan, otonomi daerah dan lemahnya sistem perundang-undangan. Walaupun secara empiris, istrumen kebijakan yang selama ini menjadi andalan pengendalian alih fungsi lahan adalah Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten.
Untuk menekan terjadinya alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan, maka strategi yang dapat dilakukan oleh pemangku kebijakan antaranya adalah memperkecil terjadinya peluang konversi, mengendalikan konversi lahan, dan menyusun instrumen pengendalian konversi lahan.
Dalam rangka memperkecil peluang terjadinya konversi lahan sawah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran dapat berupa insentif kepada pemilik sawah yang berpotensi untuk dirubah. Dari sisi permintaan pengendalian sawah dapat ditempuh melalui: Mengembangkan pajak tanah yang progresif; Meningkatkan efisiensi kebutuhan lahan untuk non pertanian sehingga tidak ada tanah yang terlantar; Mengembangkan prinsip hemat lahan untuk industri, perumahan dan perdagangan misalnya pembangunan rumah susun dan ruko susun.
Pengendalian konversi lahan dapat dilakukan melalui; a) Membatasi konversi lahan sawah yang memiliki produktivitas tinggi, menyerap tenaga kerja pertanian tinggi, dan mempunyai fungsi lingkungan tinggi, b) Mengarahkan kegiatan konversi lahan pertanian untuk pembangunan kawasan industri, perdagangan, dan perumahan pada kawasan yang kurang produktif, c) Membatasi luas lahan yang dikonversi di setiap kabupaten/kota yang mengacu pada kemampuan pengadaan pangan mandiri, dan d) Menetapkan Kawasan Pangan Abadi yang tidak boleh dikonversi, dengan pemberian insentif bagi pemilik lahan dan pemerintah daerah setempat.
Instrumen yang dapat digunakan untuk perlindungan dan pengendalian lahan sawah adalah melalui instrumen yuridis dan non yuridis, yaitu : a) Instrumen yuridis berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat dengan ketentuan sanksi yang memadai, b) Instrumen insentif dan disinsentif bagi pemilik lahan sawah dan pemerintah daerah setempat, c) Pengalokasian dana dekonsentrasi untuk mendorong pemerintah daerah dalam mengendalikan konversi lahan pertanian terutama sawah, dan d) Instrumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan perizinan lokasi.
Analisis Kecukupan Pangan
Kabupaten Lombok Tengah dengan luas wilayah 120.839 hektar memiliki hutan seluas 24.860,5 hektar atau 20,57%, sawah irigasi 47.003 hektar atau 38,897%, sawah tadah hujan 12.453 hektar atau 10,305%, pekarangan dan bangunan 8.971 hektar atau 7,424%, tanah kebun/tegalan 23.103 hektar atau 19,119%, padang rumput 171 hektar atau 0,142%. Tambak dan Kolam/Empang 1.298 hektar atau 1,074%.
Data dari BPS 2014, produksi padi di Kabupaten Lombok Tengah 443.986 ton GKP setara dengan 411.624 ton GKG dengan rendemen 63,2% diperoleh beras 260.146,368 ton beras. Bila dikaitkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 875.231 jiwa dengan tingkat konsumsi rata-rata 140 Kg/jiwa/tahun maka total kebutuhan beras penduduk sebanyak 122.532,34 ton. Dengan demikian masih ada kelebihan produksi (surplus) sebesar 137.614,028 ton beras sebagai cadangan nasional.
Walaupun Kabupaten Lombok Tengah mengamali surplus 137.614,028 ton pada tahun 2014, tetapi dengan laju pertumbuhan penduduk 2,04% setiap tahunnya diperkirakan jumlah penduduk tahun 2035 sebanyak 2.107.556,248 jiwa. Jika produksi padi mengalami stagnasi dan luas lahan masih sama dan tingkat konsumsi rata-rata masih sama maka total kebutuhan beras penduduk pada tahun 2035 sebanyak 295.057,875 ton. Dengan demikian terjadi defisit sebesar (-34.911,507) ton beras. Jiika laju alih fungsi lahan 1,4% – 1,5 % setiap tahunnya maka akan terjadi defisit stok beras daerah yang lebih besar.
Menekan Laju Alih Fungsi Lahan
Percepatan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Lombok Tengah semakin tinggi sebagai dampak dari Bandara International Lombok (BIL) yang menempatkan kabupaten ini sebagai pintu gerbang internasional dan domestik. rencana pengembangan kawasan International Tourism Development Corporations (ITDC) dan Mandalika Resort. Alih fungsi lahan secara sistematis atas laju permintaan lahan untuk pembangunan perumahan, perhotelan, infrastruktur jalan, perdagangan dan fasilitas jasa lainnya setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pembangunan untuk perumahan dan perhotelan berkembang di Kecamatan Praya, Praya Barat, Pujut, dan Jonggat.Pengembangan perumahan dan pertokoan tersebar di Kecamatan Praya, Praya Barat, Praya Tengah, Jonggat dan Kopang.
Kabupaten Lombok Tengah memiliki potensi pertambangan Bahan Galian Golongan C (BGG C) yang besar. Aktivitas BGG C telah mempercepat laju alih fungsi lahan pertanian ke kegiatan pertambangan. Bappeda, 2013 mencatat luas areal pertambangan BGG C adalah 43,517 hektar tersebar pada wilayah Pringgarata, Kopang, Batukliang, dan Batukliang Utara.
Alih fungsi lahan secara sporadist terjadi karena pembangunan perumahan rakyat atau perluasan lingkungan perumahan di perdesaan. Pembangunan perumahan oleh masyarakat dipicu oleh naiknya tingkat pendapatan masyarakat dan mengalami perkembangan yang cepat pada desa-desa endemik pengirim tenaga kerja ke luar negeri. Pendapatan sebagai tenaga kerja di luar negeri diinvestasikan pada perumahan dan ruko.
Untuk menekan terjadinya alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan, maka pemerintah daerah dapat melakukan dua cara pendekatan yaitu secara yuridis dan insentif dan disinsentif. Pendekatan yuridis dapat dilakukan melalui; 1) penerapan secara efektif atas UU No. 41/2009 tentang PLP2B dan PP No. 1/2011 tentang Alih Fungsi Lahan, 2) penyusunan Peraturan Daerah tentang PLP2B, 3) penyusunan Peraturan Bupati tentang PLP2B, 3) mengoptimalkan penerapan Perda RTRW Kabupaten, 4) penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dan Perdesaan, dan 5) Penyusunan Perda tentang BGG C.
Pemberian insentif dan disinsentif jika tidak dilakukan dengan perencanaan yang baik dan tepat akan dapat berdampak pada ketergantungan masyarakat pada pemerintah. Pemberian pupuk dan bibit unggul baik yang bersifat bantuan maupun stimulan pada kegiatan intensifikasi selama ini tidak efektif jika bertujuan untuk menekan terjadinya alih fungsi lahan. Pada rasio tingkat kepemilikan petani akan lahan pertanian yang sangat rendah, peningkatan provitas tanaman tidak akan mempercepat masyarakat keluar dari garis kemiskinan. Menciptakan peluang usaha baru barangkali akan mampu memberikan sumber pendapatan baru untuk menambah pendapatan keluarga.Untuk itu pemberian insentif dapat dibawa kearah penciptaaan sumber pendaatan baru antaranya adalah; 1) mendorong pengembangan Lembaga Agribisnis Desa (LADA) melalui BUM Desa, 2) mendorong pengembangan subsektor peternakan bagi petani yang memiliki sempit, dan 3) mendorong percepatan pengembangan UMKM di perdesaan untuk masyarakat miskin.
Penutup
Keberhasilan pemerintah daerah untuk menekan alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan terletak pada kemauan pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Percepatan penyusunan regulasi dan kebijakan penganggaran untuk mendukung program menekan alih fungsi pertanian berkelanjutan ada pada tangan pemerintah daerah. Penyusunan dan penyelenggaraan APBD yang berpihak pada rakyat akan mempercepat proses revolusi mental masyarakat khususnya yang tinggal dan menguasai lahan-lahan pertanian dalam skala kepemilikan yang bervariasi.
By : Amaq Seruni
Daftar Pustaka :
1. Sarwono Hardjowigeno, Ir., M.Sc., Dr., Prof., dan Luthfi Rayes, Ir.,M.Sc.,Dr., “ Tanah Sawah : Karakteristik, Kondisi, dan Permasalahan Tanah Sawah di Indonesia”, Bayumedia Publising, Malang, Jawa Timur, Indonesia, 2005.
2. Maryudi Sastrowihardjo, Ir.,M.Sc.,Dr., “Masalah Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan” Disampaikan Dalam Penataran Agribisnis, Badan Agribisnis Departemen Pertanian bekerja sama dengan Indonesia Agribusiness Development Project, Cisarua – Bogor, Indonesia, Nopember 1995.
3. Anonim, 2011, “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2011 – 2015.
4. Data Dalam Angka (DDA), 2013 Kabupaten Lombok Tengah, BPS, 2013
5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), 2009
6. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Alih Fungsi Lahan, 2011