Monthly Archives: Oktober 2015

Alih Fungsi Lahan Pertanian Berkelanjutan, Study Kasus Di Kabupaten Lombok Tengah

Latar Belakang

Lahan pertanian terdiri atas lahan sawah dan kebun sebagai lingkungan buatan pada kawasan perdesaan. Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk menanam padi sawah, baik secara terus menerus sepanjang tahun maupun pergiliran dengan tanaman palawija (Sarwono dan Luthfi, 2005). Keberadaan tanah sawah sebagai sumber daya alam dalam memproduksi beras menjadi sangat penting bagi suatu daerah. Saat ini keberadaan tanah sawah beririgasi terancam oleh adanya konversi tanah sawah ke non-pertanian terutama untuk kawasan industri dan perluasan kota yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan data RTRW Kabupaten kota alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian telah mencapai 1,4 – 1,5% atau 3,09 juta hektar dari 7,8 juta hektar (BPS, 2014).

Tanah sebagai salah satu unsur ruang, dalam UUD’ 45 digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penjabaran amanat konstitusi tersebut dimuat dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) maupun dalam UU Nomor 24/1992, yaitu bahwa tanah harus berfungsi sosial dan dalam pemanfaatannya harus memperhatikan kepentingan masyarakat ekonomi lemah. Dalam Pasal 6 UUPA dinyatakan bahwa semua hak atas mempunyai fungsi sosial, yang berarti bahwa hak atas tanah disamping memberikan wewenang kepada pemegang haknya (yang empunya hak) untuk emnggunakan tanah juga membebankan kewajiban-kewajiban tertentu antaranya memelihara dan menambah kesuburan dan mencegah kerusakan sehingga tanah dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. Mencegah kerusakan tanah dapat dilakukan dengan cara konservasi dan mencegah alih fungsi lahan untuk pertambangan dan galian C.
Kebutuhan akan tanah atas permintaan tanah untuk keperluan pembangunan berbagai sektor kegiatan terus mengalami peningkatan seiring dengan lajunya pembangunan dan pertambahan penduduk, Apabila tidak ada campur tangan pemerintah maka akan terjadi permasalahan pada penguasaan dan pemanfaatannya. Agar supaya penyediaan tanah untuk pembangunan benar-benar sesuai dengan yang dibutuhkan, maka pelaksanaan pengadaannya ditempuh melalui prosedur perizinan lokasi (Sastrowihardjo, 1995). Prosedur izin lokasi telah disempurnakan berdasarkan Pakto-23 berupa Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 22 Tahun 1993. Berdasarkan kebijakan Pakto-23 tersebut, izin lokasi diberikan oleh Kepala Kantor Pertanahan Daerah Tingkat II.
Pendekatan Teoritis

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah perubahan fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi bukan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara.

Terjadinya alih fungsi lahan pertanian beririgasi akan menjadi permasalahan utama dalam mencapai kemandirian pangan nasional ditengah permasalahan ketahanan pangan dalam negeri antaranya adalah naiknya nilai import pangan nasional, tahun 2003 nilai import pangan US$ 713.233 juta naik menjadi US$ 2.173 Milyar dan menurunnya stok pangan nasional setiap tahunnya, tahun 2013 stok pangan 7,4 juta ton, 2014 turun menjadi 6,5 juta ton dan tahun 2015 menjadi 5,2 juta ton. Pemerintah untuk mencapai swasermbada pangan nasional telah memprogramkan; 1) membangun infastruktur dasar sektor pertanian (waduk, bendungan, irigasi), 2) Ekstensifikasi melalui pencetakan sawah baru 40.000 hektar, dan 3) Intensifikasi pertanian untuk menaikkan produksi 5 ton GKG per hektar menjadi 5,6 ton GKG dan produktivitas Jagung dari 4,8 ton KP per hektar menjadi 5,6 KP per hektar. Program ini harus didukung oleh ketersediaan lahan pertanian yang cukup dan tidak mengalami alih fungsi lahan yang tinggi.

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralih fungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi dan sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju.

Alih fungsi lahan dapat terjadi terjadi secara sistematis yairu konversi lahan pertanian menjadi kawasan Industri, kawasan pemukiman (real estate), jalan raya, kompleks perkantoran, Bandara. Pola sistematis ini membutuhkan hamparan lahan yang cukup luas dan terkonsolidasi. Dan alih fungsi lahan secara sporadis yaitu alih fungsi yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan secara sporadis, alih fungsi lahan dilakukan oleh orang lain akbiat terjadi jual beli, dan oleh pemilik lahan sendiri untuk pembangunan rumah. Alih fungsi lahan dipengaruhi oleh faktor-faktor kependudukan, kebutuhan lahan untuk non-pertanian, ekonomi, sosial budaya, degradasi lingkungan, otonomi daerah dan lemahnya sistem perundang-undangan. Walaupun secara empiris, istrumen kebijakan yang selama ini menjadi andalan pengendalian alih fungsi lahan adalah Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten.
Untuk menekan terjadinya alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan, maka strategi yang dapat dilakukan oleh pemangku kebijakan antaranya adalah memperkecil terjadinya peluang konversi, mengendalikan konversi lahan, dan menyusun instrumen pengendalian konversi lahan.

Dalam rangka memperkecil peluang terjadinya konversi lahan sawah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran dapat berupa insentif kepada pemilik sawah yang berpotensi untuk dirubah. Dari sisi permintaan pengendalian sawah dapat ditempuh melalui: Mengembangkan pajak tanah yang progresif; Meningkatkan efisiensi kebutuhan lahan untuk non pertanian sehingga tidak ada tanah yang terlantar; Mengembangkan prinsip hemat lahan untuk industri, perumahan dan perdagangan misalnya pembangunan rumah susun dan ruko susun.

Pengendalian konversi lahan dapat dilakukan melalui; a) Membatasi konversi lahan sawah yang memiliki produktivitas tinggi, menyerap tenaga kerja pertanian tinggi, dan mempunyai fungsi lingkungan tinggi, b) Mengarahkan kegiatan konversi lahan pertanian untuk pembangunan kawasan industri, perdagangan, dan perumahan pada kawasan yang kurang produktif, c) Membatasi luas lahan yang dikonversi di setiap kabupaten/kota yang mengacu pada kemampuan pengadaan pangan mandiri, dan d) Menetapkan Kawasan Pangan Abadi yang tidak boleh dikonversi, dengan pemberian insentif bagi pemilik lahan dan pemerintah daerah setempat.

Instrumen yang dapat digunakan untuk perlindungan dan pengendalian lahan sawah adalah melalui instrumen yuridis dan non yuridis, yaitu : a) Instrumen yuridis berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat dengan ketentuan sanksi yang memadai, b) Instrumen insentif dan disinsentif bagi pemilik lahan sawah dan pemerintah daerah setempat, c) Pengalokasian dana dekonsentrasi untuk mendorong pemerintah daerah dalam mengendalikan konversi lahan pertanian terutama sawah, dan d) Instrumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan perizinan lokasi.

Analisis Kecukupan Pangan

Kabupaten Lombok Tengah dengan luas wilayah 120.839 hektar memiliki hutan seluas 24.860,5 hektar atau 20,57%, sawah irigasi 47.003 hektar atau 38,897%, sawah tadah hujan 12.453 hektar atau 10,305%, pekarangan dan bangunan 8.971 hektar atau 7,424%, tanah kebun/tegalan 23.103 hektar atau 19,119%, padang rumput 171 hektar atau 0,142%. Tambak dan Kolam/Empang 1.298 hektar atau 1,074%.

Data dari BPS 2014, produksi padi di Kabupaten Lombok Tengah 443.986 ton GKP setara dengan 411.624 ton GKG dengan rendemen 63,2% diperoleh beras 260.146,368 ton beras. Bila dikaitkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 875.231 jiwa dengan tingkat konsumsi rata-rata 140 Kg/jiwa/tahun maka total kebutuhan beras penduduk sebanyak 122.532,34 ton. Dengan demikian masih ada kelebihan produksi (surplus) sebesar 137.614,028 ton beras sebagai cadangan nasional.

Walaupun Kabupaten Lombok Tengah mengamali surplus 137.614,028 ton pada tahun 2014, tetapi dengan laju pertumbuhan penduduk 2,04% setiap tahunnya diperkirakan jumlah penduduk tahun 2035 sebanyak 2.107.556,248 jiwa. Jika produksi padi mengalami stagnasi dan luas lahan masih sama dan tingkat konsumsi rata-rata masih sama maka total kebutuhan beras penduduk pada tahun 2035 sebanyak 295.057,875 ton. Dengan demikian terjadi defisit sebesar (-34.911,507) ton beras. Jiika laju alih fungsi lahan 1,4% – 1,5 % setiap tahunnya maka akan terjadi defisit stok beras daerah yang lebih besar.

Menekan Laju Alih Fungsi Lahan

Percepatan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Lombok Tengah semakin tinggi sebagai dampak dari Bandara International Lombok (BIL) yang menempatkan kabupaten ini sebagai pintu gerbang internasional dan domestik. rencana pengembangan kawasan International Tourism Development Corporations (ITDC) dan Mandalika Resort. Alih fungsi lahan secara sistematis atas laju permintaan lahan untuk pembangunan perumahan, perhotelan, infrastruktur jalan, perdagangan dan fasilitas jasa lainnya setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pembangunan untuk perumahan dan perhotelan berkembang di Kecamatan Praya, Praya Barat, Pujut, dan Jonggat.Pengembangan perumahan dan pertokoan tersebar di Kecamatan Praya, Praya Barat, Praya Tengah, Jonggat dan Kopang.
Kabupaten Lombok Tengah memiliki potensi pertambangan Bahan Galian Golongan C (BGG C) yang besar. Aktivitas BGG C telah mempercepat laju alih fungsi lahan pertanian ke kegiatan pertambangan. Bappeda, 2013 mencatat luas areal pertambangan BGG C adalah 43,517 hektar tersebar pada wilayah Pringgarata, Kopang, Batukliang, dan Batukliang Utara.

Alih fungsi lahan secara sporadist terjadi karena pembangunan perumahan rakyat atau perluasan lingkungan perumahan di perdesaan. Pembangunan perumahan oleh masyarakat dipicu oleh naiknya tingkat pendapatan masyarakat dan mengalami perkembangan yang cepat pada desa-desa endemik pengirim tenaga kerja ke luar negeri. Pendapatan sebagai tenaga kerja di luar negeri diinvestasikan pada perumahan dan ruko.

Untuk menekan terjadinya alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan, maka pemerintah daerah dapat melakukan dua cara pendekatan yaitu secara yuridis dan insentif dan disinsentif. Pendekatan yuridis dapat dilakukan melalui; 1) penerapan secara efektif atas UU No. 41/2009 tentang PLP2B dan PP No. 1/2011 tentang Alih Fungsi Lahan, 2) penyusunan Peraturan Daerah tentang PLP2B, 3) penyusunan Peraturan Bupati tentang PLP2B, 3) mengoptimalkan penerapan Perda RTRW Kabupaten, 4) penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dan Perdesaan, dan 5) Penyusunan Perda tentang BGG C.

Pemberian insentif dan disinsentif jika tidak dilakukan dengan perencanaan yang baik dan tepat akan dapat berdampak pada ketergantungan masyarakat pada pemerintah. Pemberian pupuk dan bibit unggul baik yang bersifat bantuan maupun stimulan pada kegiatan intensifikasi selama ini tidak efektif jika bertujuan untuk menekan terjadinya alih fungsi lahan. Pada rasio tingkat kepemilikan petani akan lahan pertanian yang sangat rendah, peningkatan provitas tanaman tidak akan mempercepat masyarakat keluar dari garis kemiskinan. Menciptakan peluang usaha baru barangkali akan mampu memberikan sumber pendapatan baru untuk menambah pendapatan keluarga.Untuk itu pemberian insentif dapat dibawa kearah penciptaaan sumber pendaatan baru antaranya adalah; 1) mendorong pengembangan Lembaga Agribisnis Desa (LADA) melalui BUM Desa, 2) mendorong pengembangan subsektor peternakan bagi petani yang memiliki sempit, dan 3) mendorong percepatan pengembangan UMKM di perdesaan untuk masyarakat miskin.

Penutup

Keberhasilan pemerintah daerah untuk menekan alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan terletak pada kemauan pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Percepatan penyusunan regulasi dan kebijakan penganggaran untuk mendukung program menekan alih fungsi pertanian berkelanjutan ada pada tangan pemerintah daerah. Penyusunan dan penyelenggaraan APBD yang berpihak pada rakyat akan mempercepat proses revolusi mental masyarakat khususnya yang tinggal dan menguasai lahan-lahan pertanian dalam skala kepemilikan yang bervariasi.

By : Amaq Seruni

Daftar Pustaka :
1. Sarwono Hardjowigeno, Ir., M.Sc., Dr., Prof., dan Luthfi Rayes, Ir.,M.Sc.,Dr., “ Tanah Sawah : Karakteristik, Kondisi, dan Permasalahan Tanah Sawah di Indonesia”, Bayumedia Publising, Malang, Jawa Timur, Indonesia, 2005.
2. Maryudi Sastrowihardjo, Ir.,M.Sc.,Dr., “Masalah Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan” Disampaikan Dalam Penataran Agribisnis, Badan Agribisnis Departemen Pertanian bekerja sama dengan Indonesia Agribusiness Development Project, Cisarua – Bogor, Indonesia, Nopember 1995.
3. Anonim, 2011, “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2011 – 2015.
4. Data Dalam Angka (DDA), 2013 Kabupaten Lombok Tengah, BPS, 2013
5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), 2009
6. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Alih Fungsi Lahan, 2011

Tinjauan Undang – Undang No 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

IMG20150415133000

 

 

 

 

sasaQgagah – Di Indonesia, Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan mengartikan Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman merata dan terjangkau (Anonim, 2010). Ketahanan pangan di NTB dibangun berdasarkan tiga komponen utama ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan.

Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, import/perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat.
Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pemberian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Ketersedian pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut diatas.

Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan untuk rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan metabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses pengolahannya serta kondisi higiene, budaya atau kebiasaan pemberian makan terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing – masing individu (pertumbuhan kehamilan, menyusui, dll), dan status kesehatan masing-masing anggota rumah tangga.

Bahan pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama. Pangan meliputi produk serealia, kacang-kacangan, minyak nabati, sayur-sayuran, buah-buahan, rempah, gula, dan produk hewani. Karena kebutuhan utama dari kebutuhan kalori harian berasal dari karbohidrat maka yang digunakan sebagai analisa kecukupan pangan yaitu karbohidrat yang bersumber dari padi, jagung dan umbi-umbian yang digunakan untuk memahami tingkat kecukupan pangan pada tingkat kabupaten maupun kecamatan.

Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan mengamanatkan Pemerintah untuk menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan. Dalam UU tersebut masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, dan distribusi. Masyarakat juga berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

FAO berkepentingan pada ketahanan pangan (food security), bahwa setiap orang mempunyai hak asasi untuk bebas dari kelaparan dan kekurangan gizi serta memperoleh kehidupan yang bermartabat sehingga akses terhadap pangan yang diinginkan sepanjang waktu terjamin (FAO, 1996 ; Widodo, 2008). Masalah ketahanan pangan di Indonesia mulai mendapat perhatian lebih besar pada saat krisis ekonomi, sebagai salah satu komponen jaring pengaman sosial (social net security) (Soetrisno & Ismoyowati, 1999 ; Widodo, 2008).
Secara hirarki menurut Widodo (2008) ketahan pangan dapat pada tingkat global, regional, nasional, daerah, rumahtangga dan individu. Ketahanan pangan nasional diperlukan untuk ketahanan pangan daerah dan rumah tangga, sebagai jaminan atas pangan bagi segenap masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, upaya membangun kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan.
Ketahanan pangan rumahtangga menyangkut terpenuhinya pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai serta aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable food security) meliputi 6 kriteria, yaitu; (1) ketersediaan (vailable), (2) keterjangkauan (accessibility), (3) ulititas (utilizations), (4) autonomy (self-reliance), (5) stabilitas (stability), (6) keberlanjutan (sustainability) (Simatupang & Fleming, 2001 ; Widodo, 2008).Ketersediaan pangan (food availability) dapat berasal dari produksi dalam negeri dan/atau import. Ketersediaan pangan per kapita ditentukan, antara lain ditentukan oleh jumlah dan pertumbuhan penduduk.

Permasalahan mendasar dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional adalah ; Pertama, pangan adalah bagian dari basic human need yang tidak ada substitusinya, Kedua, pertumbuhan penduduk yang masih tinggi disadari atau tidak mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan terhadap pangan (growing demand), selain itu peningkatan jumlah the middle class yang berhilir pada peningkatan konsumsi pangan yang lebih banyak. Ketiga, kerusakan lingkungan yang diakibatkan antara lain oleh climate change yang sudah mengganggu produksi dan produktivitas pangan nasional. Dampak dari perubahan iklim ekstrem mencakup perubahan produktivitas, gaya hidup, pendapatan ekonomi, infrastruktur, dan pasar. Ketahanan pangan di masa depan akan terkait dengan kemampuan adaptasi budi daya bercocok tanam masyarakat terhadap perubahan iklim5. Keempat, kompetisi antara sumber energi (bio fuel), dan sumber pangan yang dapat mengganggu suplai pangan. Kelima, pentingnya kemandirian pangan berkelanjutan serta masih adanya kerentanan dan kerawanan pangan di berbagai daerah.

Permasalahan utama Kabupaten/kota dalam mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan terkait dengan lahan pertanian adalah pertumbuhan permintaan pangan lebih cepat dari penyediaan pangan, akibat pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, daya beli dan pola konsumsi masyarakat, dan kecepatan alih fungsi lahan serta upaya pembukaan lahan baru yang masih rendah. Permintaan tanah untuk keperluan pembangunan berbagai sektor kegiatan antara lain; industri, perdagangan, perkebunan, transmigrasi, infrastruktur dan fasilitas penunjang kegiatan lainnya terus mengalami peningkatan seiring dengan lajunya tingkat pembangunan dan pertambahan penduduk merupakan tantangan dalam upaya mempertahankan penyediaan lahan untuk pemenuhan kebutuhan pangan nasional dan daerah.

Produksi pangan sangat tergantung dari faktor iklim, jenis tanah, curah hujan, irigasi, komponen produksi pertanian yang digunakan dan inisitiaf dari para petani untuk menghasilkan tanaman pangan. Untuk menunjang program sub sektor pertanian guna memantapkan swasembada pangan, supaya tetap mempertahankan penggunaan tanah sawah beririgasi dan dilarang untuk mengalihfungsikan penggunaan tanah sawah beririgasi ke non pertanian.

Lahan pertanian sebagai salah satu sumber daya pokok yang memiliki peran dan fungsi strategis, namun akses sub sektor pertanian khususnya pangan terhadap sumber daya lahan dihadapkan kepada permasalahan terbatasnya sumber daya lahan untuk pertanian, sempitnya lahan pertanian per kapita penduduk, banyaknya petani gurem dengan luas lahan garapan dibawah setengah hektar, tingginya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian, tidak terjaminnya sttaus penguasaan lahan (land tenure) dan pola pandang masyarakat tentang tanah pertanian yang berbasis pada nilai tukar lahan (land rent value).

Laju konversi 4 – 9 % di perkotaan dan 2 – 4 % di perdesaan dan berdasarkan RTRW Kabupaten/Kota angka konversi mencapai 3,09 juta hektar dari 7,8 juta hektar sawah (BPS, 2014). Tingkat produktivitas lahan sawah sudah mendekati laveling off, sehingga ada tendensi total produksi relatif stagnan jika tidak diimbangi dengan teknologi intensifikasi dan kapasitas perluasan areal sawah setiap tahun sekitar 40.000 hektar.

Untuk mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan dengan upaya mengatasi permasalahan lahan termasuk pengendalian alih fungsi lahan ditempuh melalui perlindungan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan. Pemerintah telah mengeluarkan Undang – Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Tentang kriteria, persyaratan dan tata cara penetapan kawasan, lahan dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan serta kriteria dan tata cara alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Pasal 1 angka 3 UU No 41 Tahun 2009, menyebutkan Untuk mewujudkan ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan nasional, serta untuk menghindari adanya alih fungsi lahan pertanian dibentuklah Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 41/2009 didefinisikan sebagai Wilayah Budi Daya Pertanian Terutama Pada Wilayah Perdesaan Yang Memiliki Hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Dan/Atau Hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan Serta Unsur Penunjangnya Dengan Fungsi Utama Untuk Mendukung Kemandirian, Ketahanan Dan Kedaulatan Pangan Nasional.

Penyelenggaraan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) diselenggarakan dengan : (1) melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, (2) Menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara nerkelanjutan, (3) Mewujdukan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan, (4) Melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani, (5) Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat, (6) Meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani, (7) Meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak, (8) Mempertahankan keseimbangan ekologis, dan (9) Mewujudkan revitalisasi pertanian.

Jenis lahan yang dapat ditetapkan menjadi lahan PLP2B merupakan lahan beririgasi, lahan rawa dan pasang surut, dan lahan tidak beririgasi. Lahan – lahan tersebut diusulkan kepada SKPD bidang pertanian untuk ditetapkan menjadi lahan PLP2B setelah dilalukan inventarisasi terhadap data penguasaan lahan, kepemilikan lahan, penggunaan lahan, dan pemanfaatan atau pengelolaan hak atas lahan pertanian pangan. Inventarisasi dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat setempat.

Kriteria teknis kawasan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan diatur dalam PP No. 1 Tahun 2011. Kriteria teknis penetapan lahan kawasan pertanian pangan berkelanjutan adalah kawasan yang memiliki hamparan lahan dengan luasan tertentu sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dan/atau lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan dan menghasilkan pangan pokok dengan tingkat produksi yang dapat memenuhi kebutuhan pangan sebagian besar masyarakat setempat, kabupaten/kota, dan / atau nasional.
Kriteria teknis lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah : (1) berada pada kesatuan hamparan lahan yang mendukung produktivitas dan efisiensi produksi, (2) memiliki potensi sesuai, sangat sesuai atau agak sesuai untuk peruntukan pangan, (3) didukung oleh infrastruktur dasar, dan (4) telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan. Kriteria teknis lahan cadangan pertanian pangan adalah : (1) Berada di dalam dan/atau diluar kawasan peruntukan pertanian, (2) Berada pada kesatuan hamparan lahan yang mendukung produktivitas dan efisiensi produksi, (3) Memiliki potensi sesuai, sangat sesuai atau agak sesuai untuk peruntukan pangan, dan (4) didukung infrastruktur dasar. Persyaratan lahan pertanian pangan kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan (PLP2B) diatur dalam Permentan No. 07/Permentan/OT.140/2/2012.

Mengacu pada Pasal 9 Ayat (3) UU No. 41/2009, perencanaan lahan PLP2B didasarkan pada pertambahan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk, pertumbuhan produktivitas, kebutuhan pangan nasional, kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian pangan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan musyawarah petani. Penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan (LCP2B) ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota.

Perlindungan khusus terhadap LP2B dan LCP2B dapat dilakukan dengan mempertimbangkan luas kawasan pertanian pangan, produktivitas kawasan pertanian pangan, potensi teknis lahan, keandalan infrastruktur, dan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian. Pengembangan terhadap Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Meliputi Intensifikasi Dan Ekstensifikasi Lahan. Dan dalam hal pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah/provinsi/kabupaten melakukan inventarisasi dan identifikasi.

Pada LP2B dan LCP2B pemerintah/provinsi/kanupaten melakukan penelitian meliputi pengembagan penganekaragaman pangan, identifikasi dan pemetaan kesesuaian lahan, pemetaan zonaso lahan pertanian pangan berkelanjutan, inovasi pertanian, fungsi agriklimatologi dan hidrologi, fungsi ekosistem, dan sosial budaya dan kearifan lokal. Untuk mencegah alih fungsi lahan maka dilakukan pengendalian oleh pemerintah melalui pemberian insentif, disinsentif, mekanisme perizinan, proteksi, dan penyuluhan.
Lahan yang telah ditetapkan menjadi LP2B dan LCP2B tidak boleh di alih fungsikan kecuali untuk kepentingan umum dengan syarat telah dilakukan kajian kelayakan strategis, disusun rencana alih fungsi lahan, dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik, dan disediakan lahan pengganti terhadap lahan LP2B yang dialihfungsikan. Terhadap penggantian lahan, apabila lahan beririgasi maka penggantinya tiga kali luas lahan yang mengalami alih fungsi, apabila lahan rawa dan pasang surut penggantinya satu kali luas lahan, dan apabila lahan tidak beririgasi penggantinya satu kali luas lahan yang dialih fungsikan.

PLP2B berdasarkan tinjauan atas aspek yuridis merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dengan reformasi agraria. Proses landreform sesuai amanat UU 41/2009 Pasal 29 ayat (3) : “Pengambilalihan (alih fungsi) lahan nonpertanian pangan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat dilakukan oleh negara untuk tanpa kompensasi dan selanjutnya dijadikan objek reforma agraria untuk didistribusikan kepada petani tanpa lahan atau berlahan sempit, untuk keperluan pengembangan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan”. Artinya, akan ada redistribusi tanah dari tanah-tanah yang diambil oleh negara kepada para petani tanpa lahan atau berlahan sempit. Adapun redistribusi tanah ini merupakan salah satu program landreform.

UU 41/2009 Bab XI Pasal 61 menyebutkan “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melindungi dan memberdayakan petani, kelompok petani, koperasi petani, serta asosiasi petani”. Perlindungan petani tersebut adalah berupa pemberian jaminan (Pasal 62 UU 41/2009) : (1) Harga komoditas pangan pokok yang menguntungkan; (2) Memperoleh sarana produksi dan prasaran pertanian; (3) Pemasaran hasil pertanian pangan pokok; (4) Pengutamaan hasil pertanian pangan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional; dan/atau (5) Ganti rugi akibat gagal panen. Sementara pemberdayaan petani yang dimaksud di atas meliputi (Pasal 63 UU 41/2009) : (1) Penguatan kelembagaan petani; (2) Penyuluhan dan pelatihan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia; (3) Pemberian fasilitas sumber pembiayaan/ permodalan; (4) Pemberian bantuan kredit kepemilikan lahan pertanian; (5) Pembentukan Bank Bagi Petani; (6) Pemberian fasilitas pendidikan dan kesehatan rumah tangga petani; dan/atau (7) Pemberian fasilitas untuk mengakses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi.

by : AmaQ Seruni

Bahan Bacaan :
1. Food Security and Vuinerability Atlas of Nusa Tenggara Barat, Dewan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian & World Food Programme, 2010
2. Widodo, Prof, Dr, Ir. Campursari Agro Industri, Liberty, Jogyakarta, 2008, hal 79.
3. Lombok Tengah Dalam Angka, BPS, 2014
4. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka, BPS, 2014.
5. Lobell DB, Burke MB, Tebaldi C, Mastrandrea MD, Falcon WP, Naylor RL (February 2008). “Prioritizing climate change adaptation needs for food security in 2030”. Science 319 (5863): 607–10.
6. Penjelasan Umum Permentan No. 07/Permentan/OT.140/2/2012,
7. “Masalah Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan”, Maryudi Sastrowihardjo, Dr. MSc. Ir, Penataran Agribisnis, Badan Agribisnis Dept. Pertanian dan Indonesia Agrribusness Development Project, Cisarua – Bogor, 1995.
8. Penjelasan Umum, Lampiran Permentan No. 07/Permentan/OT.140/2/2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria Dan Persyaratan Kawasan, Lahan, Dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
9. Pasal 16 Ayat (4) Perda No. 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Provinsi NTB,

Wujudkan Nawa Cita Melalui Pengembangan Lembaga Agribisnis Desa

sasaQgagah – Program Nawa Cita Presiden Jokowi-JK memiliki visi dan misi membangun kedaulatan pangan berbasis agribisnis kerakyatan. Selanjutnya akan dikerucutkan dengan penyusunan kebijakan pengendalian impor pangan, penanggulangan kemiskinan pertanian dan dukungan regenerasi petani, reformasi regenerasi agraria dan pembangunan bank khusus pertanian, UMKM dan koperasi. Program ini memberikan inspirasi kepada semua pihak untuk mendorong bangkitnya kembali sektor pertanian sebagai kekuatan ekonomi baru bangsa Indonesia yang sekarang ini sedang mengalami dampak dari krisis ekonomi dunia. Strategi pembangunan kawasan pinggiran membuka akses seluas-luasnya bagi desa dalam menata kawasan agrarisnya agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan ekonomi perdesaan dalam kerangka mewujudkan ketahanan pangan, industri berbasis sumber daya lokal (UKMK), dan penciptakan lapangan kerja, dan yang tidak kalah pentingnya adalah membuka peluang munculnya entrepreneurship baru di bidang agribisnis dan industri kecil menengah di perdesaan.

Banyak pihak yang merasa pesimis tentang target capaian Nawa Cita ini, namun bagi masyarakat desa program Nawa Cita tersebut menjadi sebuah pengharapan atas iktikad pemerintah untuk mendorong percepatan pembangunan perdesaan terutama disubsektor pertanian dengan meningkatkan nilai anggaran pada kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi, penataan sistem pasar agribisnis, dan akses terhadap permodalan yang berpihak pada petani miskin (poor farmer).

Perdesaan adalah merupakan kawasan yang tersusun dari tiga komponen utama sumber daya yaitu pertama sumber daya alam (SDA) yang terfragmentasi menjadi lingkungan sawah, kebun, hutan rakyat dan sumber daya air. SDA umumnya tersedia dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang terdistribusi secara tidak merata membentuk struktur sosial dalam pembedaan kelompok petani yang memiliki lahan dan tidak memiliki lahan (buruh tani). Kedua, sumber daya manusia (SDM), secara kuntitas tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai komponen tenaga kerja disubsektor pertanian dan UMKM, namun lemah secara kualitas. Kemampuan SDM di perdesaan biasanya ditentukan oleh struktur pendidikan masyarakat, dimana struktur pendidikan petani di  rata-rata wilayah perdesaan umumnya masih rendah. Ketiga, sosial budaya yang tersusun dari model – model interaksi dan pranata sosial telah secara alamiah membentuk budaya masyarakat perdesaan yang bercirikan agraris – religius.

Dalam kerangka percepatan pembangunan pinggiran yang didominasi lokalita kawasan perdesaan dapat dimulai dengan menggerakkan kekuatan dari masing-masing lingkungan yang terbentuk di kawasan perdesaan tersebut yang tetap mengacu pada sistem agribisnis dari subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem olah hasil, subsistem pemasaran, dan subsistem jasa penunjang.

Dalam Undang-Undang Desa, Pasal 87 Ayat (1) menyebutkan bahwa Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUM Desa. Desa memperioritaskan BUM Desa dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (Pasal 90 huruf c). Undang-Undang Desa memberi peluang sebesar-besarnya kepada pemerintahan desa untuk secara otonomi mengelola sumber daya alam yang dimiliki didalam menjawab kemiskinan sebagian besar penduduknya. Beberapa kasus di berbagai desa, sumber daya alam yang melimpah tidak menjamin masyarakatnya terbebas dari jeratan kemiskinan. Faktor utama penyebabnya adalah sumber daya alam tersebut belum dapat terkelola dengan baik dan masih berada dalam satu subsistem agribisnis saja. Contoh dalam kasus ini adalah program intensifikasi pertanian yang telah dikembangkan oleh pemerintah telah berhasil menaikkan provitas dan mutu produksi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Namun keberhasilan subsistem budidaya tersebut tidak dibarengi dengan subsistem olah hasil dan pemasaran yang baik sehingga bahan baku yang dihasilkan tidak memiliki nilai ekonomi tinggi. Pada posisi ini petani tidak memiliki nilai tawar yang tinggi, apalagi pada kondisi petani terjerat hutang untuk pengadaan agroinput.

Untuk meningkatkan nilai tambah subsektor pertanian dalam arti luas, maka pengembangan sistem agribisnis yang terencana di perdesaan haruslah dikembangkan berbasis komoditas lokal yang memiliki potensi pasar dalam negeri dan ekspor seperti Jagung, hortikultura, Kopi, Kakao, dan Sapi. Pemerintah Desa dengan kewenangannya menurut Undang-Undang Desa dapat menciptakan suatu sistem agribisnis yang dapat diwadahi oleh BUM Desa. Sistem agribisnis tersebut dengan secara terbuka dikelola secara transparansi, profesional dan berorientasi profit, dan yang tidak kalah pentingnya mampu menggerakkan subsistem pertanian dari hulu sampai hilir di kawasan perdesaan.

Untuk mendorong terciptanya sistem agribisnis yang dinamis di perdesaan, beberapa strategi pengembangan menurut Rudi Wibowo (1995) mengacu kapada : (1) eksistensi dan keterkaitan fungsional dari dan antar subsistem agribisnis untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya eksistensi sistem agribisnis di dalam proses dan sistem pembangunan pertanian; (2) kewirausahaan dalam kemitraan kegiatan untuk mewujudkan satuan sistem yang ditopang oleh keserasian kerjasama antar unsur pelaku agribisnis, petani, pengusaha kecil, Koperasi, BUMN dan swasta; (3) iklim dan fasilitas yang kondusif bagi pembangunan dan pertumbuhan sistem agribisnis pada setiap lokalita sumberdaya pertanian (kawasan) agribisnis di perdesaan agar mampu berperan dan berkarya dalam sistem pasar global yang kompetitif; dan (4) pengembangan sumber daya dan lingkungan dalam suatu gerakan pembangunan agribisnis yang terencana, dinamik dan terkoordinasi melalui pengembangan pola dan alur tata laku berbagai unsur sistem makro dan mikro agribisnis nasional.
Dalam pengembangan agribsinis di perdesaan juga tidak terlepas dari berbagai tantangan baik bersifat internal maupun ekternal. Tantangan internal yang biasanya menjadi sindrom pembangunan perdesaan adalah : (1) pada setiap musrenbang desa maka kegiatan fisik selalu menjadi prioritas utama, (2) dalam RPJM Desa sektor pertanian masih bukan menjadi skala prioritas, dan (3) Pembangunan pertanian masih dianggap sebagai subsektor yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan bukan menjadi tugas pokok pemerintah desa. Faktor ekternal yang menjadi tantangan pengembangan agribisnis desa adalah : (1) pasar komoditi pertanian yang memasuki era globalisasi baik melalui GATT maupun AFTA, NAFTA dan EEC yang menuntut mutu dan keamanan produk yang lebih besar; (2) monopoli dan black market yang diterapkan oleh pedagang padat modal dari kota; (3) mahalnya investasi pada pengadaan cool storage dan gudang penyimpanan (silo), sebagai contoh komoditi jagung yang membutuhkan gudang penyimpanan yang besar; dan (4) lemahnya sistem informasi pasar. Khusus mengenai sistem informasi pasar pemerintahan desa dapat menggunakan perangkat Sistem Informasi Desa (SID) namun tidak semua pemerintah kabupaten yang memiliki server khusus.

Penumbuhan dan penguatan sistem agribisnis di perdesaan juga harus didukung oleh kebijakan pemerintah desa dan daerah melalui upaya-upaya internalisasi pengembangan dan pengelolaan sistem agribisnis ke dalam RPJM Desa dan RPJMD Kabupaten/Kota sehingga proses penganggaran stimulan dapat terselenggara dengan baik dilevel APBDes dan eksekutif dan legislatif kabupaten. Pengembangan agribisnis di perdesaan harus dilihat sebagai gerakan penanggulangan kemiskinan pertanian sebagai amanat konstitusi di republik ini.

AmaQ Seruni
Pustaka :
1. Rudi Wibowo, Ir, MS, Dr, “Sistem dan Strategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia”, Materi Pelatihan Pada Penataran Agribisnis, Badan Agribisnis Departemen Pertanian dan Indonesia Agribusiness Development Project, Cisarua Bogor, 20 Nopember 1995.