Monthly Archives: September 2016

Pembentukan Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air (IP3A) Di Daerah Irigasi Katon Kompleks dan Mujur II WS Lombok

Latar Belakang

sasaqgagah – Persoalan sumber daya air tetap menjadi persoalan utama dalam pembangunan pertanian di provinsi Nusa Tenggara Barat. Kabupaten Lombok Tengah sebagai kawasan strategis lumbung pangan nasional memiliki karakteristik iklim yang bervariasi antara kawasan utara dan selatan. Dalam perspektif DAS, Kabupaten Lombok didominasi oleh dua bentang alam yaitu DAS Babak di bagian barat dan DAS Renggung di bagian timur. DAS Babak merupakan DAS basah yang memiliki utilitas tinggi sedangkan DAS Renggung merupakan DAS kritis dengan utilitas rendah. Untuk memenuhi kebutuhan air pertanian di DAS Renggung pemerintah sejak dulu telah membuat sistem interkoneksi Lombok selatan dengan pola pengaliran air dari DAS basah menuju DAS kering.

Daerah irigasi (DI) Katon Kompleks (7345 Ha) dan Mujur II (3229 Ha) secara hidrologis berada di bentang alam DAS Renggung, dan kedua DI ini setiap musim tanam ke-2 selalu mengalami defisit air pertanian. Sumber air utama kedua DI ini berasal dari Hight Level Diversion (HLD) Babak – Renggung dengan sumber utama dari Bendung Jengguar. Secara hidrologis bendung Jengguar berada di hulu DAS Babak namun areal yang diairi berada di bentang alam DAS Renggung.

Minimnya debit air yang tersedia di sumber dan jarak serta rentang waktu pengaliran yang panjang menyebabkan jumlah air yang sampai ke DI Katon Kompleks dan Mujur II menjadi sangat kurang dari kebutuhan. Kondisi ini memicu munculnya permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan air irigasi. Permasalahan tersebut antara lain : 1) terjadinya ego sektoral antara P3A/GP3A dan antara wilayah kepengamatan, 2) sering terjadinya gagal panen di wilayah hilir, 3) menurunnya produktivitas petani yang rata-rata paling banyak mencapai 4 ton/hektar, dan 4) masih seringnya pengambilan air tanpa ijin oleh petani di wilayah hulu.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka salah satu strategi yang dipandang efektif adalah meningkatkan koordinasi P3A/GP3A antara daerah hulu, tengah, dan hilir. Karena sumber air antara Katon Kompleks dengan Mujur II masih dalam satu sistem utama HLD Renggung maka koordinasi tersebut dapat diwujudkan melalui wadah Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air (IP3A).

Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air (IP3A) adalah gabungan dari beberapa GP3A yang bekerjasama untuk memanfaatkan air irigasi dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok primer serta gabungan beberapa blok primer atau satu daerah irigasi (Pementan No. 79/Permentan/OT.140/12/2012, Bab IV hal 23). Fungsi dasar IP3A adalah sebagai co-management bersama Kementerian Pekerjaan Umum dalam pengelolaan suatu daerah irigasi.

Aspek Hidrologis

Hamparan lahan yang berada di DI Katon Kompleks dan Mujur II berada pada dataran yang berada di sekitar kali Renggung membentang dari utara dan selatan. Karena memiliki karakteristik lahan yang berbeda antara daerah hulu dan hilir, dimana bagian hulu didominasi oleh jenis tanah yang memiliki porositas tinggi sedangkan bagian tengah dan hilir memiliki jenis tanah liat yang memiliki porositas rendah maka kebutuhan air di masing-masing daerah berbeda.

Sumber air utama berasal dari Kali Renggung yang disuplai dari Kali Babak dalam sistem interkoneksi Lombok Selatan. Untuk wilayah DI Katon Kompleks sumber air juga berasal dari anak-anak sungai kali Renggung yang ditampung dalam Dam Katon, Dam Kulem, Dam Tibunangke, Embung Pare dan Dam Batu Ngapah. Dibagian hilir kali Renggung terdapat bendung Mujur II untuk mengairi DI Mujur II dan bendung Mujur I untuk mengairi DI. Mujur I (Katon kompleks).

Aspek Yuridis

Dasar Hukum pembentukan IP3A adalah : (a) UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air • PP No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi, (b) Perda Kab. Lombok Tengah No. 5 Tahun 2008 tentang Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi (PPSI), (c) Permen PU No. 33 Tahun 2007 tentang Pedoman Pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A, dan (d) Permentan No. 79 Tahun 2012 tentang Pedoman Pembinaan dan Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air.

Dalam Permentan No. 79/Permentan/OT.140/12/2012 siebutkan bahwa penumbuhan IP3A dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut : (a) beberapa GP3A atau P3A pada suatu daerah irigasi atau pada tingkat induk/primer mengadakan kesepakatan untuk membentuk dan menyusun kepengurusan serta rancangan AD/ART IP3A, (b) pembentukan kepengurusan dan rancangan AD/ART IP3A ditetapkan dalam rapat anggota serta dilaporkan oleh pengurus/ketua IP3A kepada Bupati/Walikota setempat serta mendaftarkan AD/ART IP3A kepada Pengadilan Negeri atau Notaris setempat untuk mendapatkan status hukum, (c) dalam rapat pembentukan IP3A sekaligus disepakati bentuk, susunan dan jangka waktu kepengurusan, dan ketentuan yang menjadi hak dan kewajiban GP3A, dan (d) Ketua IP3A dipilih dari anggota GP3A yang bergabung dan selanjutnya ketua memilih kepengurusan IP3A.

Permen PU No. 33/PRT/M/2007, Bab II Bagian Ketiga, Pasal 9 Ayat (1) menyebutkan bahwa GP3A dapat bergabung untuk membentuk IP3A.

IP3A dibentuk dari, oleh dan untuk kebutuhan beberapa GP3A yang berada dalam satu daerah irigasi secara demokratis dengan kepengurusan dan keanggotaan terdiri atas perwakilan GP3A yang berada pada satu daerah irigasi (Pasal 9 Ayat 2).

Pembentukan IP3A sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diutamakan untuk mengkoordinasikan beberapa GP3A yang berada pada daerah layanan / blok primer, gabungan beberapa blok primer dan satu daerah irigasi dalam berperan serta pada pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi (Pasal 9 Ayat 3).

Pembentukan IP3A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilakukan dengan cara ; (a) mengadakan kesepakatan bersama untuk membentuk IP3A oleh beberapa GP3A yang berlokasi pada satu daerah irigasi, dan (b) menyusun kepengurusan IP3A (Pasal 10 Ayat 1). Dalam hal pembentukan kelembagaan IP3A sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 Ayat 1 tidak demokratis dan/atau tidak mencapai kesepakatan, pemerintah daerah memfasilitasi pembentukan kelembagaan dimaksud sesuai dengan permintaan petani pemakai air untuk melakukan kesepakatan ulang (Pasal 10 Ayat 2).

Susunan pengurus IP3A terdiri atas rapat anggota, pengurus dan anggota (Pasal 12 Ayat 1).
Rapat anggota sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan kekuasaan tertinggi didalam organisasi IP3A (Pasal 12 Ayat 2). Pengurus IP3A sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan dalam rapat anggota yang terdiri atas ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, dan pelaksana teknis (Pasal 12 Ayat 4).
Pengurus IP3A dipilih dari wakil GP3A yang berada pada satu daerah irigasi (Pasal 12 Ayat 6).

Organisasi IP3A wajib menyusun ; (a) anggaran dasar, dan (b) anggaran rumah tangga (Pasal 13 Ayat 1).
Hubungan kerja antara P3A/GP3A dengan IP3A dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi bersifat koordinatif dan konsultatif sesuai dengan tanggung jawab masing-masing (Bab V Pasal 16 Ayat 1).

Hubungan kerja antara IP3A dengan pemerintah kabupaten bersifat fungsional dan/atau konsultatif (Pasal 16 Ayat 2). Hubungan IP3A dengan pemerintah kabupaten sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 Ayat (2) meliputi : (a) pemberian bantuan pengembangan dan pengelolaan irigasi kepada IP3A atas dasar permintaan IP3A, (b) pemberian bimbingan teknis pertanian, (c) partisipasi dalam pelaksanaan evaluasi pengelolaan aset pemerintah kabupaten, (d) penentuan prioritas penggunaan biaya operasi pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi sesuai dengan ketersediaan dana pemerintah kabupaten (Pasal 16 Ayat 4).

Hubungan kerja IP3A dengan Komisi Irigasi dilakukan untuk menyalurkan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak P3A/GP3A/IP3A dalam pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi serta untuk menyalurkan usaha pertanian sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 16 Ayat 6).

Aspek Sosiologis Pertanian

Masyarakat petani yang berada di DI Katon Kompleks dan Mujur II memiliki akar budaya yang sama yaitu sebagai masyarakat petani yang berkarakter sosial budaya yang religius. Dalam budaya masyarakat sasak sistem irigasi hampir sama dengan sistem subak di Bali dimana pengaturan air dilakukan dalam tata hubungan sosial yang disebut Banjar. Pelaksanaan operasional dilakukan oleh pekaseh dan pada wilayah yang lebih luas dilakukan oleh lang-lang (penghulu air). Modernisasi sistem irigasi pasca pemerintahan Belanda juga berdampak pada modernisasi kelembagaan pengelola air. Fungsi lang-lang telah digantikan oleh Pengamat/juru Pengairan.

Kesamaan budaya yang sama dalam pola hubungan dalam pakem banjar, hubungan kerja sama antara masyarakat petani suku sasak telah terbangun dalam suatu sistem yang apik. Sistem ini selanjutnya diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam hal pengelolaan air irigasi.

Pemberdayaan IP3A

Pemberdayaan IP3A dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam fungsi utamanya untuk melakukan pengelolaan air. Pemberdayaan dapat dilakukan melalui kegiatan pendampingan, pelatihan, dan fasilitasi kegiatan usaha ekonomi produktif. Pemberdayaan pengembangan SDM pada aspek OP dapat dilakukan oleh Dinas Pengairan, pada aspek usahatani dan ekonomi produktif dapat dilakukan oleh Dinas Pertanian dan kelembagaan oleh Bappeda.

Aspek pemberdayaan yang tidak kalah pentingnya adalah pemberdayaan dalam peningkatan iuran air (IPAIR). Peningkatan IPAIR dapat menghidupkan kembali pola IPAIR program Bimas tahun 1992 yang telah secara gemilang mampu membawa daerah ini swasembada pangan. Apalagi jika pemerintah daerah telah dapat menyelenggaraan Dana Pengelolaan Irigasi (DPI) berdasarkan nilai Angka Kebutuhan Nyata Operasi dan Pemeliharaan (AKNOP) dan Angka Kebutuhan Nyata Pengelolaan Irigasi (AKNPI).  (AQ. Seruni).

Tinjauan Sosiologis Terhadap Sistem Pelayanan Air Tanpa Jadwal Di DAS Jangkok Babak dan DAS Renggung

DSCF6137

sasaqgagah – Rencana aplikasi pelayanan air irigasi tanpa jadwal di WS Lombok yang akan dilaksanakan oleh IWAF (Integrated Water Alocations Forum) sekretariat BWS Nusa Tenggara I yang disanpaikan dalam rapat TKPSDA (29/08/2016), juga disampaikan oleh Kabid Pengairan Dinas PU & ESDM pada rapat Komisi Irigasi Kabupaten Lombok Tengah (30/08/2016). Pengaplikasian tanpa jadwal ini menimbulkan reaksi dari berbagai stakeholders pengguna air irigasi baik yang bersifat positif maupun negatif.

Kabupaten Lombok Tengah sebagai pengguna air irigasi paling banyak, memiliki kondisi hidrologis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersifat teknis maupun sosiologis. Dari hasil evaluasi pada kondisi tahun tanam 2015/2016 sebagai berikut : (1) rencana tanam tahun 2015/2016 seluas 49.517,01 Ha, (2) realisasi tanam 2015/2016 mencapai 41.717,00 Ha, (3) Kebutuhan air untuk pertanian sebesar 70.903,13 l/det atau 735.123.683 m3, (4) debit tersedia di intake sebesar 47.116,00 l/det, (5) faktor K rata-rata 0,67, (6) air yang sampai di petak tersier 33.373,60 l/det, (7) tingkat pencapaian SPM 70,41%.

Tercapainya SPM 70,41% disebabkan oleh faktor sistim gilir antara daerah hulu, tengah, dan hilir yang didukung oleh kinerja jaringan irigasi yang baik. Wacana penerapan pelayanan air tanpa jadwal pada faktor K 0,67 jelas akan menimbulkan ketidakyakinan pelaksana OP ditingkat lapangan (P3A/GP3A/IP3A). Untuk itu pengaplikasian pelayanan air tanpa jadwal yang rencananya akan dimulai per 1 Oktober 2016 ini perlu kiranya untuk dikaji lebih mendalam terhadap berbagai aspek baik teknis maupun sosial budaya masyarakat petani.  Sebagai bahan diskusi untuk melahirkan suatu pertimbangan penulis memaparkan pendapat dan pandangan dibawah ini.

Dari analisis teknis, kondisi daerah irigasi yang berada di lingkup DAS Jangkok – Babak dan DAS Renggung sebagai berikut : (1) debit (Q) di intake lebih kecil dari debit (Q) kebutuhan, (2) apabila IWAF mengasumsikan bahwa sistem ini membutuhkan syarat adanya tertib tata pola tanam, maka keinginan IWAF ini membutuhkan waktu yang panjang untuk membangkitkan kesadaran petani terhadap tertib tata dan pola tanam, (3) jenis tanah di daerah hulu memiliki porositas yang tinggi sedangkan daerahb tengah dan hilir merupakan tanah liat yang memiliki tingkat keretakan tinggi.

Kondisi sosial budaya masyarakat petani yang berada di DAS Jangkok-Babak dan DAS Renggung adalah sebagai berikut : (1) kurangnya ketersediaan alat olah tanah (handtraktor) sehingga proses oleh tanah membutuhkan waktu yang lama, (2) kurangnya tenaga kerja untuk tanam, dan (3) tidak tepat waktunya pendistribusian pupuk bagi tanaman. Ketiga kondisi tersebut sangat berpengaruh pada tidak tercapainya tertib tanam yang tentunya akan berdampak pada penggunaan air yang akan bersamaan pada bentang DAS yang luas.

Untuk dapat mengaplikasikan sistem pelayanan air tanpa jadwal ini, maka langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten adalah sebagai berikut :   (1) sosialisasi di tingkat lapangan terhadap sistem pelayanan air tanpa jadwal, (2) pemenuhan kebutuhan Alsintan untuk proses olah tanah, (3) penyediaan pupuk tepat waktu, dan (4) pengawalan proses dilapangan yang melibatkan Polisi Pamong Praja dan Babinsa. Pelayanan air sistim tanpa jadwal ini merupakan metode baru bagi operator lapangan sehingga membutuhkan proses adaptasi. (AQ. Seruni)