Monthly Archives: April 2018

Tinjauan Rencana Pembentukan Sistem Irigasi Lombok Kompleks Terhadap 5 Pilar Pembangunan Irigasi

Latar Belakang

Rencana Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk membentuk system irigasi Lombok Kompleks dalam kegiatan Focuss Group Discussion di Aula Dinas PUPR Kabupaten Lombok Tengah (6/4/2018), diselenggarakan oleh Tim Modernisasi Irigasi Direktorat Irigasi dan Rawa (IRWA) Kementerian PUPR.

Bagi masyarakat, tentunya menimbulkan pertanyaan bahwa apakah rencana ini sudah masuk dalam perencanaan strategis daerah atau hanya sebatas wacana.
Sistem irigasi di Pulau Lombok merupakan sistem irigasi yang sangat rumit terutama di sistem Hight Level Divertions (HLD) interkoneksi Lombok Selatan. Sistem ini meliputi empat wilayah administratif kabupaten/kota yaitu Lombok Barat, Kota Mataram, Lombok Tengah dan Lombok Timur.Masing – masing wilayah administratif ini memiliki karakteristik lahan dan kondisi air yang berbeda – beda. Lombok Barat dan Kota Mataram memiliki ketersediaan air permukaan yang berlebih, Lombok Tengah dan Lombok Timur sangatlah kurang dan mengalami defisit setiap tahunnya terutama periode bulan April s/d Oktober.

System HLD dan interkoneksi sebenarnya dirancang untuk menyuplai air dari das basah menuju das kering yang dijalankan dengan sistem operasi interkoneksi – interbasin, sehingga setiap sungai yang ada merupakan saluran irigasi (saluran alam). Dalam prakteknya sistem HLD interkoneksi ini belum dapat mendistribusikan air secara adil. Penyebab utamanya adalah kelembagaan pengelola yang masih sektoral. Masing – masing kabupaten memiliki kebijakan sendiri – sendiri yang tidak saling terkait (ego sektoral) satu sama lainnya.
Pada waktu Musim Tanam (MT) ke-2 dan ke-3 telah terjadi ketidakimbangan distribusi air antar kabupaten/kota. Lombok Barat dan Kota Mataram mengalami surplus air sehingga pola budidaya pertaniannya dapat melakukan pertanaman padi selama tiga musim tanam. Kondisi sebaliknya terjadi di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Tmur bagian selatan yang pada saat – saat pemupukan dan masa pertumbuhan generatif tanaman mengalami kekurangan air.

Untuk mengatasi permasalahan ini, berbagai upaya telah dilakukan baik dengan membentuk Water Operations Centre (WTO) yang sekarang berubah menjadi Water Trip Centre (WTC), Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA), Dewan Sumber Daya Air, Komisi Irigasi (Komir) Provinsi/Kabupaten, dan Forum Komusikasi Das Babak, namun upaya ini belum dapat mengatasi permasalahan yang ada.
Dengan wacana atau rencana pembentukan sistem irigasi Lombok Kompleks ini apakah dapat menyelesaikan masalah?, untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita coba melihat sarana prasarana irigasi dan kelembagaan pengelola irigasi yang ada berdasarkan Lima Pilar Pembangunan Irigasi berdasarkan Nawa Cita Pemerintahan JOKOWI – JK adalah; (1) ketersediaan air, (2) Prasarana Irigasi, (3) Pengelolaan, (4) Kelembagaan, dan (5) Sumber Daya Manusia.

Pilar ke-1 : Ketersediaan Air

WS Lombok merupakan wilayah sungai strategis nasional memiliki luas 4.738,65 km2 (Kepres No. 12/2012) terdiri atas 197 DAS. Dari 187 DAS, 56 merupakan DAS utilitas dan 142 DAS non utilitas. Terdapat dua jenis kategori sungai yaitu 196 sungai kecil dengan rincian; luas (A) ≤ 10 km2 sebanyak 127 buah, luas 10 km2 ≤ A ≤ 50 km2 sebanyak 48 buah, luas 50 km2 ≤ A ≤ 100 km2 sebanyak 12 buah, dan luas 100 km2 ≤ A ≤ 500 km2 sebanyak 9 buah. Sungai besar dengan luas A ˃ 500 km2 hanya 1 buah (BWS NT I, 2014).

Ketersediaan dan keberlangsungan sumber daya air ditentukan oleh keberadaan mata air dalam wilayah DAS tersebut. WS Lombok memiliki 198 mata air yang tersebar di Lombok Barat 20 buah, Lombok Utara 46 buah, Lombok Tengah 44 buah, dan Lombok Timur 88 buah.

Potensi ketersediaan air permukaan tahunan dengan tingkat keandalan 80% di WS Lombok adalah 90,18 m3/dtk. Ketersediaan tersebut telah dipergunakan untuk keperluan irigasi 77,50%, untuk kebutuhan rumah tangga, perkotaan dan industri (RKI) sebesar 15,72%, dan kebutuhan perikanan dan peternakan sebesar 6,61%. (BWS NT I, 2010).

Pemanfaatan air di WS Lombok terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dan dapat dilihat berdasarkan tiga skenario; pertumbuhan ekonomi rendah, pertumbuhan ekonomi sedang, pertumbuhan ekonomi tinggi.

Menurut Kepmen PU No. 589/KPTS/M/2010 tentang Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Pulau Lombok, pemanfaatan air periode 2015 – 2020 berdasarkan skenario ekonomi rendah adalah untuk keperluan irgasi 46,16 m3/dtk, perikanan 4,77 m3/dtk, peternakan 0,09 m3/dtk, domestik 11,13 m3/dtk, industri 0,13 m3/dtk. Berdasarkan skenario ekonomi sedang adalah untuk keperluan irigasi 48,15 m3/dtk, perikanan 4,89 m3/dtk, peternakan 0,09 m3/dtk, domestik 11,42 m3/dtk, dan industri 0,13 m3/dtk. Dan skenario ekonomi tinggi adalah untuk keperluan irigasi 49,38 m3/dtk, perikanan 5,00 m3/dtk, peternakan 0,09 m3/dtk, domestik 11,67 m3/dtk, dan industri 0,14 m3/dtk.

Jumlah terbesar air irigasi terkonsentrasi di Lombok Barat, Lombok Utara, dan Lombok Timur bagian utara. Ketersediaan air yang berada di Lombok Utara tidak dapat dimanfaatkan oleh kabupaten lain karena keadaan bentang alam yang terisolasi oleh pegunungan Punikan dan Rinjani. Lombok Timur bagian utara masih memungkinkan untuk dialirkan airnya ke wilayah bagian selatan asalkan dapat dibangun sistem interkoneksi melalui Waduk Pandan Duri. Sedangkan kelebihan air Lombok Barat telah dikelola melalui sistem HLD interkoneksi Jangkok – Babak. Selain itu juga dibangun sistem HLD Babak – Renggung untuk membawa air di wilayah utara Lombok Tengah dengan sistem pengendalian distribusi antar bendung (headwork).

Pilar ke-2 : Prasarana Irigasi

Prasarana sumber daya air yang terdapat di WS Lombok terdiri dari bendungan 3 bh, embung 191 bh, embung rakyat / crashprogram 2.237 bh, bendung 212 bh, bendung karet 1 bh, pos hujan ARR dan MRG 80 bh, pos muka air 28 bh, pos klimatologi 5 bh, dan sumur bor 366 bh. Embung yang menjadi kewenangan pemerintah pusat sebanyak 64 bh dengan tampungan bruto 40.080.018 m3, tampungan efektif 27.309.001 m3, terget layanan irigasi 18.064 ha dan air baku 6.313 kk.

WS Lombok terdiri dari 494 daerah irigasi (DI), berdasarkan kewenangannya terdapat 16 DI kewenangan pemerintah pusat dengan luas total 70.874 ha, 35 DI kewenangan Provinsi dengan luas total 58.105 ha, dan 440 DI kewenangan kabupaten dengan luas total 101.780 ha. Dari prasarana irigasi yang ada untuk meningkatkan pelayanan dan keseimbangan air antara DAS basah dengan DAS kering masih membutuhkan penambahan pembangunan stasiun hujan, pembangunan bendung Meninting, dan Bendung Mujur.

Prasarana irigasi yang ada berdasarkan kondisi eksistingnya banyak mengalami kerusakan terutama di DI. Jurang Sate Kompleks (14.710 ha), rusaknya Embung Srigangge yang berdampak pada terganggunya sistem irigasi DI. Surabaya (3.258 ha), telah terjadi alih fungsi lahan yang tinggi di DI. Rumemeng Kompleks, tidak berfungsinya embung – embung regulator (E. Goa, E. Pejanggik, E. Gerantung, E.Bual, dan E. Enem) di dalam sistem DI, Jurang Batu.

Kondisi prasarana irigasi yang sebagian besar menunjukkan indeks kinerja rendah menjadi penyumbang dari sebab – sebab terganggunya sistem HLD dan interkoneksi Lombok Selatan yang selama ini telah mengatur pembagian air antar kabupaten dan antara DAS basah dengan DAS kering.

Pilar ke-3 : Pengelolaan Irigasi

Pengelolaan irigasi dilakukan oleh Kelembagaan Pengelola Irigasi (KPI) terdiri atas SKPD/Dinas yang membidangi irigasi (Bappeda, Dinas PUPR, Dinas Pertanian) dan masyarakat petani pemakai air (P3A/GP3A/IP3A). Masing – masing KPI memiliki tugas dan tanggung jawab berdasarkan kewenangannya yang telah diatur melalui peraturan Menteri PUPR Republik Indonesia.
Berdasarkan kewenangan pengelolaannya, daerah irigasi terbagi menjadi tiga kewenangan yaitu DI yang luasnya > 3000 ha merupakan kewenangan pemerintah pusat, DI yang luasnya 1000 – 3000 ha merupakan kewenangan pemerintah provinsi, dan DI yang luasnya < 1000 ha merupakan kewenangan pemerintah kabupaten.

Secara umum, pengelolaan sumber daya air di WS Lombok dilakukan oleh BWS Nusa Tenggara I meliputi sistem sungai, waduk, bendung, embung dan HLD interkoneksi. Untuk dapat mengoperasikan sistem HLD interkoneksi balai menggunakan mekansime DIRTO (Direct Instruktions Real Time Operations). Operasional daerah irigasi dilakukan oleh kabupaten melalui staf OP UPTD/Pengamat dan dibantu oleh GP3A/IP3A.

Beberapa permasalahan dalam pengoperasian sistem HLD interkoneksi – interbasin adalah sebagai berikut : (1) lemahnya kontrol terhadap pelaksana OP di masing – masing kabupaten, (2) masih terjadinya ego – sektoral antara kabupaten, (3) penyusunan tata pola tanam yang belum terintegrasi antar DI dan antar kabuipaten, (4) lemahnya pengawasan, monitoring & evalusai terhadap pelaksanaan kebutusan TKPSDA dan Komir, (5) masih kurang tenaga OP ditingkat lapangan seperti Juru Pintu Air (JPA) dan staf OP Pengamat, dan (6) fasilitas OP yang masih sangat kurang.

Pilar ke-4 : Kelembagaan Pengelola Irigasi

Secara kelembagaan pengelola irigasi, sistem irigasi di WS Lombok ditangani oleh; Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I, Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas PUPR Provinsi NTB, Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BKSDA), Bidang SDA Dinas PUPR Kabupaten/Kota, Komisi Irigasi Provinsi, Komisi Irigasi Kabupaten, dan P3A/GP3A/IP3A. Beragamnya instansi / kelembagaan dalam pengelolaan irigasi tentunya membutuhkan perangkat untuk dapat berkoordinasi dengan baik. Wadah – wadah koordinasi yang telah terbentuk di WS Lombok adalah TKPSDA WS Lombok, Komir Provinsi, Komir Kabupaten, Dewan Sumber Daya Air dan IWAF (Integrated Water Alocations Forum).
Lemahnya kinerja kelembagaan pengelola air baik yang berasal dari unsur pemerintah maupun non pemerintah (P3A/GP3A/IP3A) menjadi permasalahan utama dalam pengelolaan air irigasi. Koordinasi antara lembaga pengelola walaupun sering dilakukan namun belum dapat mewujudkan suatu tata kelola yang berkeadilan antara das basah dan das kering. Semua Instansi pengelola terkesan bekerja sendiri – sendiri, misalnya ketika BWS telah menyusun Rencana Alokasi Air Tahunan (RAAT) dan Rencana Alokasi Air Rinci (RAAR) tahapan proses dan waktu penyusunan Rencana Tata Tanam Global (RTTG) di Kabupaten masih belum sinkron.

Permasalahan lainnya adalah lemahnya sistem koordinasi antar kabupaten, walaupun telah terbentuk wadah atau forum yang menjembatani koordinasi tersebut. Otonomi daerah telah memicu masing – masing daerah untuk menyusun kebijakannya sendiri – sendiri yang tentunya harus disesuaikan dengan visi dan misi Bupati. Visi dan Misi sebuah kabupaten disusun secara spasial dengan melihat potensi dan kekayaan alam daerah. Termasuk juga dalam penyusunan kebijakan daerah tentang pengelolaan sumber daya air dan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B).

Untuk mendorong kedaulatan pangan di masing – masing kabupaten, maka pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air menjadi begitu dominan. Kabupaten yang cenderung ketersediaan sumber daya airnya surplus akan menerapkan kebijakan intensifikasi yang ketat dengan target indeks pertanaman 300%. Ditingkat masyarakat akan memicu budaya penanaman padi sampai tiga kali dalam setahun terutama di wilayah hulu.

Pada kabupaten yang defisit air irigasi akan menyusun RTTG yang mendukung kearah pengembangan intensifikasi palawija pada MT-2. Kebijakan pengaturan tata pola tanam ini pada akhirnya memicu perlawanan sosial dan budaya masyarakat untuk tidak mengikuti aturan tersebut, maka terjadilah pelanggaran tata pola tanam.

Kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan baik di TKPSDA, Dewan Sumber Daya Air, IWAF, dan Komir akhirnya menjadi karya tulis semata karena masih lemahnya sosialisasi dan pengawalan/pemantauan dan monitoring terhadap kebijakan tersebut.

Pilar ke-5 : Sumber Daya Manusia

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan komponen penting dalam pengelolaan sumber daya air dan prasarana irigasi. Kemampuan SDM pengelola irigasi di WS Lombok umumnya baik yang ditingkat melalui pelatihan – pelatihan yang diselenggarakan oleh Balai, Provinsi dan kabupaten. Pendidikan pelaksana OP dinas juga bervariasi dari SD sampai berpendidikan S2, begitu juga P3A/GP3A/IP3A juga telah berpendidikan minimal SD sampai S1.

Permasalahan utama dari SDM ini adalah jumlahnya yang berkurang terutama di tingkatan JPA dan petugas OP embung. Selain itu lambannya regenerasi di kepengurusan P3A/GP3A telah menurunkan kinerja organisasi ini. Saat ini rata – rata pengurus P3A/GP3A telah bekerja selama lebih dari 40 tahun.

Penutup

Setelah melihat rencana pembentukan sistem irigasi Lombok kompleks dari sudut pandang 5 pilar pembangunan irigasi, maka penulis mencoba untuk memberikan sumbang saran kepada pihak – pihak yang terkait dengan sumber daya air. Sumbang saran ini diharapkan akan menjadi bahan perenungan dan untuk dilanjutkan dengan melakukan kajian – kajian. Data – data hasil kajian tersebut selanjutnya dapat menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan.

Pokok – pokok pikiran yang penulis ingin sampaikan adalah sebagai berikut : (1) penyusunan RTTG di WS Lombok harus terintegrasi dan tidak lagi menjadi kebijakan kabupaten yang bersifat spasial, (2) perlunya pembentukan tim monitoing dan evaluasi di tingkat daerah irigasi terhadap implementasi kebijakan Dewan Sumber Daya Air, TKPSDA, dan Komir Provinsi/Kabupaten, (3) melakukan modernisasi irigasi secara holistik di WS Lombok, (4) melakukan revisi keanggotaan terhadap TKPSDA dan Komir agar keterwakilan daerah irigasi tetap terjaga, dan (5) mempercepat terbentuknya Sistem Informasi Pengelolaan Aset Irigasi (SIPAI), dan (6) mendorong percepatan penandatanganan MoU (memorandum of Understanding) antara Gubernur/Bupati dan Balai dengan P3A/GP3A/IP3A. (Aq-Seruni, 9/4/2018).