ADAT PERKAWINAN SUKU SASAK (Bagian 1)

amaq seruni*

merarik 4

Pengantar

sasaQgagah – Sebelum agama islam masuk di pulau Lombok (Gumi Lombok), proses perkawinan adat Sasak dilakukan melalui proses “Rerembuk “. Dimana dalam acara perembuk ini dihadiri oleh para tetua (Sesepuh, Penglingsir serta tokoh lainnya), selain itu kedua belah pihak (pihak laki dan pihak wanita) serta keluarga yang lainnya juga dihadirkan dalam acara ini.

Rerembuk merupakan acara peresmian perkawinan dengan sistim penyaksian yang disertai dengan acara syukuran/selamatan (Bahasa sasak : Begawe/Rowah) dengan maksud memohon berkah dari yang dianggap keramat baik berupa benda ataupun pepohonan.
Setelah ajaran agama Islam masuk ke Gumi Sasak yang dibawa oleh rombongan dari Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Prapen (Sunan Prapen) sekitar tahun 1450 SM, maka perubahan besarpun terjadi di gumi Sasak dengan menyebarnya ajaran Islam ke seantero gumi Sasak.

Untuk mempercepat perkembangan Islam, maka penyebarannyapun dilakukan dengan merangkul semua kesenian-kesenian dan budaya-budaya adat Sasak terlebih dahulu sehingga melahirkan “ Adat Bersendikan Syara’ dan Syara’ Bersendikan AL-Qur’an (Agama) “
Tidak luput dari pengaruh ajaran agama Islam, maka prosesi pernikahan adat Sasakpun disesuaikan sehingga semua seni budaya adat Sasak tidak ada yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Jika diibaratkan dengan sepasang kaki, maka kaki kanan adalah agama sedangkan kaki kiri adalah adat. Sehingga jika suku Sasak hidup dengan salah satu kaki saja, maka betapa lelah dan lama untuk mencapai suatu tujuan.

Berdasarkan pengibaratan itulah maka terbentuk lambang agama dan lambang adat yang disatukan dalam satu ikatan kain putih sebagai lambang agama dan kain hitam sebagai lambang adat.
Proses penyatuan kain putih dan kain hitam ini menjadi awal mula penggunaan “SESIRAH “ . Kata Sesirah berasal dari kata “Sirah” yang berarti kepala. Disamping lambing agama dan lambing adat dalam sesirah tersebut, ada juga yang disebut dengan “Leweng (Piring Kuningan)” sebagai lambing pemberitahuan kehilangan.
Dengan demikian sesirah tersebut terdiri dari 3 jenis, yaitu : Kain Putih, Kain Hitam, dan Leweng.

Sesirah ini selalu dibawa manakala sedang melakukan prosesi perkawinan, seperti : Pesejati, Peselabar, Nunas patutan, dan Sorong serah aji krame.

Karena suku Sasak yang dalam proses perkawinannya tidak melakukan sistim melamar akan tetapi suku sasak melakukan proses perkawinan dengan sistim “Kawin Lari“. Cara atau sistim ini disetujui/disepakati oleh masyarakat suku Sasak dengan alasan sebagai berikut ; 1) Yang memiliki rencana berumah tangga adalah anak laki-laki dan anak perempuan sehingga mereka bebas menentukan pilihan hatinya tanpa ada tekanan dari siapapun. 2) Adanya kekhawatiran jika orang tua perempuan akan bersifat materialistis bila melakukan lamaran, karena semua orang tua berharap mendapat calon menantu yang mapan. Pada kondisi ini cenderung terjadi pemaksaan untuk mengikuti pilihan orang tua padahal belum tentu sesuai menurut anak perempuannya., 3) Adanya kekhawatiran jika yang melakukan lamaran berasal dari keluarga sendiri ataupun orang lain namun orang tua lebih memilih orang lain sehingga menimbulkan perpecahan keluarga.

Dari contoh kasus diatas yang dijadikan dasar utama suku Sasak untuk lebih memilih proses perkawinan dengan cara kawin lari. Kata “mencuri” ini diambil dari proses pengambilan calon penganten wanita yang tanpa memberitahu orang tua dan keluarganya. Ini terjadi berdasarkan rencana dari kedua calon penganten untuk berumah tangga, sehingga tidak ada orang yang harus disalahkan jika suatu saat nanti mereka mendapat ujian dalam berumah tangga.

Proses Adat Dalam Perkawinan Suku Sasak

Masyarakat suku Sasak dalam proses pernikahannya menjalani sistem Kawin Lari atau yang sering disebut dengan Merarik/Mencuri, karena proses pengambilan wanita ( calon isteri ) tanpa diketahui orang tua dan keluarga (tidak diminta ) dan itu tergantung pada calon pengantin laki-laki dan calon pengantin wanita, kapan saja mereka siap untuk menikah yang tentunya diawali dengan hubungan cinta dan janji mereka berdua. Kawin lari yang dilegalkan oleh masyarakat sasak adalah, jika : 1) Telah terjalin hubungan asmara/cinta antara mereka (laki-laki dan wanita), 2) Adanya pembuktian cinta yang berupa materi ataupun jasa, 3) Adanya kesanggupan mereka berdua (laki-laki dan wanita) untuk berumah tangga, 4) Pengambilan calon pengantin wanita hendaknya dilakukan pada malam hari dan dirumah wanita itu sendiri (rumah orang tuanya).

Apabila ke – 4 poin tersebut tidak dipenuhi/dilanggar, maka itu berarti tidak legal atau melanggar aturan. Dalam pelanggaran ini penting untuk di musyawarahkan sejauh mana pelanggaran itu terjadi guna menentukan langkah selanjutnya baik itu berupa sanksi yang akan diberikan atau kebijakan lain sesuai hasil musyawarah.
Selain dari sistem kawin lari yang dilegalkan oleh masyarakat, ada juga sistem perkawinan yang terjadi pada masyarakat sasak, seperti; Emugah, Perekep, dan Salah Tingkah.

Emugah, yang dimaksud dengan Emugah adalah Pengambilan wanita (calon pengantin) yang dilakukan secara paksa dimana saja dan kapan saja (siang ataupun malam).
Pengambilan secara paksa ini terjadi dapat disebabkan karena wanita yang sering ingkar janji untuk menikah.
Pemaksaan ini biasanya terjadi tatkala wanita sedang berada diluar rumah misalnya dijalan atau ditempat lain yang bukan rumahnya sendiri. Selain itu Emugah ini bisa juga terjadi karena sudah terlalu banyak materi yang dikeluarkan oleh laki-laki tetapi tidak pernah dijanjikan untuk menikah.

Perekep / Peruput, proses perkawinan dengan cara ini jarang terjadi. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan dengan cara perekep adalah adalah; 1) Karena ada kekhawatiran pada keluarga wanita atau keluarga laki-laki akan menikah dengan orang lain agama (tidak seiman), 2) Karena ada kekhawatiran tidak sekupu (tidak sederajat), 3) Wanita yang pernah kawin lari tetapi tertangkap oleh keluarganya yang kemudian dibawa pulang kembali lalu dinikahkan secara paksa.

Jadi perkawinan cara ini terlaksana atas kehendak keluarga (terjadi pemaksaan kehendak) tanpa mempertimbangkan hubungan asmara/cinta. Berdasarkan 3 item tersebut diatas, keluarga lebih mengutamakan pernikahan secepat mungkin, sedangkan perasaan cinta diharapkan akan tumbuh seiring berjalannya waktu.
Salah Tingkah, yang dimaksud dengan pernikahan Salah Tingkah adalah pernikahan yang terjadi tanpa disengaja ataupun yang sengaja dilakukan tanpa pernah ada niat untuk menikah dan tidak pernah ada perasaan cinta.

Contoh pernikahan salah tingkah yang tidak disengaja: 1) Menjumpai seorang wanita dijalan atau disuatu tempat kemudian mengantarkannya pulang tetapi ketika sampai dirumah wanita sudah malam sedangkan keluarga wanita tidak terima karena pulang malam, dan 2) Jika ketahuan berdua (laki-laki dan wanita) berada di suatu tempat yang sepi misalnya seperti; sungai, kebun, sawah, dll padahal mereka tidak saling mengenal satu sama lain tetapi menjadi perbincangan umum.

Contoh pernikahan salah tingkah yang disengaja : 1) Masuk kedalam rumah seorang wanita, padahal dia tahu tidak ada orang lain dirumah tersebut sehingga menjadi perbincangan, dan 2) Mengganggu seorang wanita (melanggar etika) sehingga menjadi perbincangan umum.

Prosedur Perkawinan Masyarakat Sasak

Prosedur pernikahan yang umum terjadi pada masyarakat sasak antara lain : (1) Emidang ( Pacaran ), (2) Merarik ( Mengambil Wanita ), (3) Merangkat ( Makan Malam I ), (4) Pesejati ( Membenarkan ), (5) Selabar ( Pemberitahuan , (6) Nuntut Wali ( Meminta Wali ), (7) Penobatan ( Menikahkan ), (8) Trasne Kayun (Pembahasan Materi ), (9) Angkat Janji ( Penetapan Hari – H ), (10) Sorong Serah Aji Krama ( Upacara peresmian ) dan Penyongkolan, (11) Nampak Tilas ( Silaturahmi Keluarga Kedua Belah Pihak ).

Emidang, adalah mendatangi rumah wanita berulang – ulang kali dengan maksud memperkenalkan diri kepada wanita dan keluarganya. emidang dilakukan pada malam hari ( pada waktu ba’da Isya sampai jam 22.00 malam). Masa emidang ini cukup lama, karena pada masa ini menjadi saat saling menilai, memahami sifat dan karakter masing-masing. Pada masa ini juga seorang lelaki dapat membuktikan kesungguhannya baik dari segi materi maupun jasa.
Adapun pemberian materi yang diberikan seorang lelaki pada masa emidang ini dapat berupa; uang, makanan, pakaian, dan lain – lain. Sedangkan pemberian yang berupa jasa adalah keikhlasan seorang lelaki dalam membantu wanita dengan menggunakan tenaga yang dimilikiny, misalnya seperti: ngaro (saat menanam padi), mataq (Saat panen padi), dan taliq pare (Saat mengikat padi).

Merarik adalah proses pengambilan wanita (calon pengantin wanita) yang dilakukan pada malam hari. Pengambilan ini dilakukan oleh teman yang menjadi perantara pada masa pacaran dan teman tersebut disebut sebagai Subandar yang ditemani oleh beberapa wanita dewasa (biasanya yang sudah menikah / ibu-ibu).
Merangkat maksudnya adalah acara makan bersama yang dilakukan setelah calon pengantin wanita datang. Dikatakan merangkat karena menyajikan makanan dengan menggunakan perangkat (Dulang Tinggang) yang terbuat dari kayu sedangkan makanan didalam perangkat tersebut dikhususkan bagi kedua calon pengantin. Adapun jenis makanan yang disajikan antara lain : 1) 2 piring nasi putih, 2) 2 butir telur ayam, dan 3) 1 ekor ayam panggang.
Pesejati berasal dari kata “Jati” yang artinya; sungguh – sungguh. Pesejati adalah sekelompok utusan yang melaksanakan tugas untuk memberitahu kepada Dané Pamengku Rat / Dané Pengamong Krame yaitu Kepala Desa atau pejabat yang mewakili. Pesejati juga dapat dilakukan ke Dané Pengemban Krame / Pangréh Warate yaitu Keliang (Kepala Lingkungan).

Dalam kelompok pesejati ini dipimpin oleh satu orang yang ditunjuk sebagai juru bicara (Panji). Adapun jumlah anggota pesejati ini diatur menurut strata dari calon pengantin laki-laki, yaitu; a) Utama : 20 orang sampai dengan tak terbatas, b) Madya : 6 sampai dengan 18 orang, dan c) Nista : 2 sampai dengan 4 orang.

*) Naskah ini merupakan tulisan dari Lembaga Pengemban Budaya Adat Sasak, dan Penulis adalah Sekretaris Lembaga

Tinggalkan komentar