POTENSI MENGEMBANGKAN DESA SUKARARA MENJADI DESA WISATA BUDAYA DAN AGROECOTOURISM

Oleh : Amaq Seruni

SAM_1141Desa Sukarara secara administratif merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah, berjarak hanya 4 Km dari Praya sebagai Ibu Kota Kabupaten Lombok Tengah dan 5 Km dari Bandara Internasional Lombok. Selama ini desa yang berpenduduk 8.764 jiwa dengan luas desa 7,88 Km2 hanya dikenal sebagai desa penghasil kerajinan Kain Tenun Sasak Tradisional dengan berbagai motif dan sudah menjadi destinasi wisata budaya dan handycraf.

Sebenarnya Desa Sukarara menyimpan potensi yang lebih dari sekedar handycraf yang belum banyak diekspose baik oleh Pemerintah Daerah maupun pelaku industri pariwisata. Sebagai desa tradisional sasak yang sebagian besar masyarakatnya bergerak di bidang pertanian dan peternakan maka potensi – potensi ekology banyak dimiliki oleh desa ini. Desa Sukarara memiliki akar budaya Sasak yang masih kental dan terpelihara, namun apabila tidak dikembangkan lambat laun akan memudar dan bahkan hilang. Pada tulias ini ada baiknya kita mengurai kembali potensi-potensi Desa Sukarara baik potensi budaya, kesenian, dan potensi alamnya.

Berbeda dengan desa – desa lainnya di Kabupaten Lombok Tengah, Sukarara memiliki keunikan budaya yang terimplemnetasi dengan kehidupan sosial sehari – hari masyarakat. Masyarakat sukarara masih kental mempertahankan tradisi cara pandang dan cara hidup orang Sasak antaranya besiru, banjar, tradisi mantenan, tasyakuran (roah) dan tradisi perayaan hari – hari besar islam. Nilai – nilai budaya tersebut merupakan kearifan lokal yang dapat dijadikan pondasi dalam penyelenggaraan revolusi mental sebagaimana yang sekarang ini lagi gencar dilakukan oleh Presiden Jokowi.

Handycraf merupakan pekerjaan rutinitas perempuan muda dan tua disetiap rumah tangga yang ada dan jenis handycraf yang ditekuni adalah Tenunan Kain Sasak (Sensek) . Menenun (Nyensek) dilakukan secara turun menurun oleh kaum perempuan di Sukarara. Nyensek menggunakan alat dari kayu yang terdiri dari elemen – elemen yang memiliki nilai sebagai simbol kehidupan orang Sasak. Alat tenun sendiri terbuat dari kayu yang terdiri dari Batang, Jajak, Belide, dan Suri . Jenis benang yang digunakan untuk membuat kain adalah jenis Benang Katak yang dibuat dari Kapas dan dipintal menggunakan alat pintal sederhana yang disebut Arah. Jenis benang inilah yang disebut benang katak oleh masyarakat Sasak. Kain tenun yang dihasilkan berbagai jenis dan motif, motif – motif yang banyak dikenal adalah Keker Bintang, Cemare, Kemalo, Ragi Genep, Kembang Komak, Sabuk Anteng dan lain- lain. Tetapi sekarang ini jenis benang katak yang digunakan tidak lagi dari pemintalan sederhana tersebut tetapi menggunakan benang yang dipintal oleh industri, dan masyarakat dapat membelinya di agen – agen terdekat.

Sebagai desa yang bercorak agrararis dan religius masyarakat di desa Sukarara mengusahakan usaha tani Padi dan Palawija sebagai usaha ekonomi utama keluarga. Namun yang unik di desa ini adalah dulunya kegiatan pertanian dilakukan menggunakan alat – alat pertanian yang sederhana antaranya pengolahan lahan menggunakan alat bajak tradisional yang ditarik oleh dua ekor Sapi, dan penggaruan menggunakan beberapa ekor Kerbau yang ditarik mengelilingi lahan yang dibajak. Petani disini meyakini bahwa bekas injakan Kerbau tersebut sangat baik untuk perkembangan perakaran padi apalagi dahulunya jenis Padi yang ditanam adalah jenis padi lokal yang berumur panjang yaitu Beak Ganggas. Selain itu alat panen yang digunakan menggunakan anai – anai (rangkap) sebuah alat pemotong tangkai padi sederhana yang dibuat dari kayu dan bilah pisau kecil.

Untuk menyimpan hasil panen maka digunakan Lumbung/Sambi/Alang yang dituruh di depan rumah. Bangunan ini hanya terdiri dari Kayu, Bambu, Bedek, dan beratapkan ilalang yang berbentuk menyerupai kubah dan memiliki keunikan bahwa Padi tidak akan rusak walaupun disimpan selama bertahun- tahun sebagai sebuah teknologi pasca panen peninggalan leluhur yang sangat elok. Lumbung inilah yang sekarang menjadi maskot lambang Kabupaten Lombok Tengah. Selain itu beberapa alat bantu petani adalah Pemaje untuk memotong, Kodong/Buwu utk menangkap ikan, Gegandek untuk menyimpan peralatan yang berukuran kecil, Ujung digunakan sebagai payung di musim hujan dan ujung ini terbuat dari daun Palem Besar (Enau/Dental). Keraru yang terbuat dari anyaman bambu sebagai wadah, Eyok juga terbuat dari anyaman bambu untuk menyaring.

Masyarakat Sukarara juga telah mengenal ilmu astronomi untuk menandai kelender musim dalam penanggalan Sasak. Untuk menentukan iklim menggunakan perhitungan bintang berupa sebuah papan yang telah diberi tanda – tanda dan simbol astronomi. Alat ini disebut Wurige yang oleh masyarakat Sukarara juga dijadikan alat untuk menentukan waktu yang baik untuk perayaan adat, hajatan, pernikahan, dan penentuan waktu tanam. Wurige ini juga telah menarik perhatian para ahli klimatologi dari Australia yang terlibat dalam program ACIAR di Lombok Tengah. Karena keakuratan waktu dan ramalan iklim menggunakan Wurige ini, maka para ahli tersebut akhirnya mempelajari perhitungan astronomi Sasak ini.

Dari kekayaan kesenian, Desa Sukarara menyimpan potensi seniman dan pelaku seni yang banyak dan selalu eksis mempertahankan berbagai jenis kesenian, Jenis kesenian yang ada dan berkembang di Desa Sukarara adalah Joget, Jaran Joweh, Gandrung, Gendang Belek, dan Ale – Ale. Dalam setiap perayaan hajatan masyarakat kesenian ini selalu tampil meramaikan acara dengan insentif yang lumayan.

Dari potensi tersebut maka Desa Sukarara akan menarik untuk dikembangkan menjadi Desa Wisata Budaya dan Ecotourism dengan menggabungkan antara kegiatan pertanian berbasis kearifan lokal dengan kekayaan budaya dan handycraf. Sebagai langkah persiapan dari gagasan tersebut maka semua stakeholders dapat melakukan rencana kegiatan antaranya adalah; 1) pembuatan musium pertanian, yang berguna untuk menyimpan alat – alat pertanian tradisonal dan wurige yang hampir punah, 2) setiap tahun baru menyelenggarakan kegiatan “Sukarara Jelo Nyensek”, sebagai vestifal tenun masyarakat, 3) training farm berbasis kearifan lokal seperti pengembangan padi lokal jenis Beak Ganggas dan lainnya, 4) menyelenggarakan vestifal kesenian setiap bulan purnama, dan 5) yang tidak kalah pentingnya adalah mendorong bermunculannya home stay dan sistem promosi yang baik.

Ke-5 kegiatan tersebut dapat diselenggarakan oleh masyarakat sendiri dan Pemerintah Daerah mendorongnya dengan memberikan fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan memberikan stimulan untuk vestifal atau penyelenggaraan event-event yang bersifat nasional maupun internasional. Dan dengan perkembangan dunia pariwisata maka gagasan ini akan dapat meningkatkan destinasi wisata di Lombok Tengah dan berdampak pada kelestarian lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarakat. (AS*)

Tinggalkan komentar